GUMARANG
“Musik Indonesia dari Daerah Minangkabau”
“Musik Indonesia dari Daerah Minangkabau”
Penulis: JOSE CHOA LINGE
Alkisah, sekelompok pemuda
Indonesia yang berasal dari Minangkabau bersatu mewujudkan impian musiknya
membawa lagu – lagu minang modern dengan iringan musik yang bukan tradisional.
Mereka, melakukan apa yang harus diinginkannya utuk memajukan unsur musik Indonesia
dari daerah Minangkabau yang sudah ada sebelumnya dijaman penjajahan Hindia
Belanda – Voor De Oorlog. Demi
meneruskan perjuangan “Penghibur Hati”
yang di pimpin SUTAN PERANG BUSTAMI
dengan serangkaian albumnya yang sudah mengukir sejarah musik mulai dari lagu ‘Kapainyo sampai Dayung Palinggam’,
kelompok pemuda inipun terinspirasi mengikuti perjalanannya. Akhirnya, kelompok
anak – anak muda yang menguasai alat musik & vokal ini, terdiri dari ‘ Awaluddin, Yus Bahri, Syaiful Nawas,
Hasmanan (Reno), Alidir, Anwar Anif, Sumwa, Azwar, Dhira Suhud, Joesfar Yusuf
(Malano), Khaeruddin & Taufik’, sepakat memberikan nama perkumpulannya
“GUMARANG”. Nama Gumarang sendiri diberikan oleh
Awaluddin yang diambil dari cerita legenda Minangkabau yang berarti “Nama seekor kuda yang warna bulunya putih,
berlari cepat dan sangat lincah”. Akhirnya, perkumpulan ini dikenal bukan
dalam bentuk band, tetapi lengkapnya “ORKES
GUMARANG”.
SEJARAH GUMARANG
Pertama kali terbentuk sekitar
tahun 1954, dimana menjadi markas berkumpulnya sekitar ‘sepuluh’ pemuda
Indonesia berasal dari ranah Minang disebuah rumah seorang pemuda bernama ‘Yus
Bahri’ yang terletak di jalan Jambu, Menteng – Jakarta. Sunggu tidak terduga
pertemuan anak – anak muda ini selalu mengemukakan ide – ide yang sungguh
cemerlang dengan keinginan mereka mendirikan perkumpulan musik. Hanyalah sebuah
mitos yang berani menuding mereka hanya sekelompok pemuda kampung tanpa bakat
dan hanya mampu menjadi pedagang kelontong disekitar Pasar Senen (sekarang
disebut K-5) dan bahkan menjadi supir oplet sekalipun dijaman itu. Usaha anak –
anak muda inipun menghimpun kekuatan dengan masing – masing keahliannya
diantaranya, Azwar, Alidir & Anwar Anif pada gitar sedangkan Azwar
(merangkap bermain gitar), Hasmanan, Joesfat Yusuf & Kairuddin sebagai
vokalis, selebihnya pada permainan Bass, Piano, Bongo & Gendang. Pada
akhirnya, mereka berhasih memunculkan pertunjukan yang memukau dengan permainan
‘Gendang, Bongo, Marakas, Gitar & Bass” dengan mempertahankan kelestarian
“Rentak Joget & Rentak Gamat’ sebagai pembuktiannya. Hal yang paling mencolok di kelompok ini dengan
kehadiran Zainal Ardi (mantan suami kedua Titiek Puspa), keduanya bergabung
memperkuat team musik Gumarang. Kelompok yang dipimpin Anwar Anif inipun
mengikuti perkembangan zaman dengan menyerap gaya “Xavier Cugat”, sebuah kelompok band yang sedang digandrungi dimasa
itu dan menjadi kekuatan musik dari Gumarang itu sendiri.
GUMARANG TAMPIL DI RRI
Terobosan baru mulai dilakukan
Gumarang adalah pertama kali muncul di RRI tahun 1955 berkat usaha dari Zainal Ardi yang bekerja sebagai penyiar
di RRI – Jakarta (pindahan RRI Palembang), dia melakukan pendekatan dengan para
pejabat – pejabat seksi musik RRI yang akan menguji musik Gumarang. Mereka
melakukan langkah yang paling mudah untuk menghadapi tes musik itu dengan
eksplorasi musik pada lagu “Dayung Palinggam & Tari Payung”,
Anwar Anif dan kawan – kawan tanperlu terbebani dengan pengalaman musik mereka
yang baru ukuran “sejengkal” & masih “hijau”. Sebaliknya mereka menunjukkan
suatu pengembangan bermusiknya di hadapan para juri seperti, “Gordon Tobing,
Ismail Marzuki, Iskandar & Sudarnoto” sehingga mereka berpeluang besar
untuk lolos seleksi. Pada hari selanjutnya, orkes Gumarang Muncul perdana di
acara siaran musik hidup (live) malam hari dengan persembahannya beberapa lagu
Minang modern versi lama dan baru “Si Upiak, Sempaya, Nasib Sawah Lunto &
Kaparak Tingga” sebuah persembahan yang lancar dan mulus. Setelah sukses siaran
perdana Gumarang, bermunculanlah kritik pedas maupun berupa pujian dari
penggemar radio maupun ‘urang – urang awak’ sendiri. Seperti kutipan sdr. A.
Sukardi dari media “Mimbar Taruna”, ‘Mengapakah putra – putri Minang masih
menciptakan lagu – lagu yang memakai bahasa daerah, sedangkan di pulau Jawa
sana komponis Gesang dan konco –konco menciptakan lagu – lagu yang kata –
katanya terdiri dari bahasa Indonesia???’. Bagi kelompok ini, hal tersebut
adalah sebuah renungan dan menganggap kritik tersebut adalah awal langkah
menuju sukses, ‘Kurang pantas kritik itu didengan kuping kiri lalu menembus
kuping kanan, dengan kata lain lebih baik tidak perlu didengar sama sekali’
ungkap Syaiful Nawas. Apa yang dilakukan kelompok ini, telah membuktikan bahwa
persembahannya mampu menghipnotis yang bukan di monopoli ‘urang – urang awak’
saja tetapi ada yang berasal dari luar Minangkabau. Perlu dicatat, kelompok ini secara tetap mengisi acara musik hidup
(live) “PANGGUNG GEMBIRA” di studio
V yang dipercayakan RRI pada Gumarang.
GUMARANG & ORKES STUDIO JAKARTA (OSJ)
Keberhasilan nama Gumarang,
membuat seorang Syaiful Bahri pemimpin dari Orkes Studio Jakarta (OSJ)
mengundang kelompok ini memperkuat pagelaran musiknya di gedung Kesenian
Jakarta. Walau kolabirasi ini hanya team vocal Gumarang saja yang dilibatkan
bergabung dengan Orkes Studio Jakarta (OSJ), namun keputusan ini tidak membuat
yang lain berkecil hari malah sebaliknya berlapang dada dan saling mendukung.
Dalam pagelaran ini tidak hanya menampilkan Gumarang saja, begitupun sebaliknya
orkes besar ini mnggetahkan penyanyi intinya seperti Ping Astono, Bing Slamet, Sal Salius, Sam Saimun & Said Effendy
adalah termasuk penyany top dijamannya. Biar tambah menarik, acara konser ini
disajikan lagu – lagu hiburan, keroncong, melayu termasuk lagu – lagu Minang
modern dan sebagai pemeriah diperagakan tari – tarian Indonesia serta tari
–tarian daerah. Tak heran, kalau kemudian team vokal Gumarang mendapat sambutan
yang meriah dengan persembahannya pada lagu “Dayung Palinggam, Limpapeh Rumah
Nan Gadang & Tari Payung” yang diiringi penari – penari yang terpilih
seperti , Rosilawaty, Yus Bahri dan beberapa penari lain. Begitupun dengan
penampilan Gumarang bersepanggung dengan beberapa orkes top dimasa itu seperti
‘Dolok
Martimbang & Eka Jaya Combo’, diperkuat trio pelawak ‘Bing Slamet,
Cepot & Udel’ di gedung Olah Raga Senayan. Persembahan ketiga orkes ternama
ini, memperlihatkan kepada masyarakat Indonesia bahwa betapa indahnya ragam
budaya dan keseniannya dengan tembang – tembang dari berbagai sukunya tanpa
harus memilih satu diantaranya melainkan berpihak untuk ketiganya. Sukses
Gumarang bersepanggung dengan OSJ maupun Dolok Martimbang & Eka Jaya Combo
adalah sebagai langkah pertama, yang dapat iikuti kerjasama yag lain dikemudian
hari.
FORMASI BARU GUMARANG
Meskipun kepergian salah seorang anggota pelopor kelompok ini ‘Anwar Anif’ meninggalkan Gumarang
secara mendadak, tidaklah membuat orkes Gumarang menjadi bernatakan ketiadaan
pimpinan. Justru sebaliknya, di tangan sang gitaris ‘Alidir’ yang ditunjung
memegang tongkat kepemimpinan adalah menjadi faktor penyelamat orkes ini.
Apalagi dengan bergabungnya ‘Asbon’ seorang gitaris yang punya nama di Padang,
dan juga masuknya seorang pianis handal ‘Yanuar Arifin’ membawa pengaruh sangat
besar dalam perubahan warna Gumarang. Lihat saja pembaharuan yang dilakukan
kepemimpinan Alidir ini, aransemen musiknya diperkuat dengan (gendang/drum) dan
Hasnanan, Joesfar Yusuf, Khairuddin, Zainul & Djusna Tahir (vocal) yang
kemudian penyanyi satu – satunya wanita inipun meninggalkan Gumarang. Mungkin
menjadi hal yang lumrah di tubuh kelompok ini bahwa ada yang pergi dan ada pula
yang datang memperkuat Gumarang. Namun demikian terlepas dari kekurangan dlam
tubuh kelompok ini, Gumarang tetap tampil jauh lebih baik dari sebelumnya.
Perlu diketahui yaitu, bahwa seorang Alidir sudah mampu membawa kelompok ini ke
bilik rekaman musik Gumarang di perusahaan Piringan Hitam Lokananta (milik
Deppen) memainkan lagu “Lipapeh Rumah Nan Gadang, Bujang Kirai, Baju Kuruang,
Laruik Sanjo, Titian Nan Lapuak” tahun 1956. Dia juga menunjukkan hal lain dari
kepemimpinannya yakni, aransemen Gumarang memang enak didengar memakai rentak
gamat, joget, beguine, ruma, cha – cha, latin dan musik Gumarang tambah kuat
karena pukulan gendang, bongo, maakas & bas Betotnya. Pada akhirnya, kepemimpinan
Gumarang diserahkan ‘Asbon’ untuk melanjutkannya, dan bisa ditebak formasi pada
vocal berubah ‘Anas Yusuf, Junu Amar, Asbon, Syaiful Nawas & kehadiran
penyanyi dari orkes “Kenangan” yang tak lain adalah ‘Nurseha’ menggantikan
posisi penyanyi wanita sebelumnya yang mengundurkan diri, antara lain ‘Djusna
Tahir, Titis Idris & Eny’.
GUMARANG dengan “AYAM DEN LAPEH”
Di tahun 1958 adalah dimana
kelompok ini menghasilkan album berikutnya di perusahaan Piringan Hitam IRAMA
milik mantan Purnawirawan TNI-AU ‘Suyoso Karsono’. Yang pasti, Gumarang
membuktikan rekaman kali ini lebih mampu mengguncang dunia musik Indonesia
dengan serangkaian lagu – lagunya yang sudah menjadi idola masyarakat dikala
itu. Kelompok ini menunjukkan kesungguhan dan hebatannya dalam bekerjasama dan
kita juga tidak akan pernah mendengan mereka separuh hati dalam berlatih.
Mereka selalu kompak dan bersungguh – sungguh, dan itu terwujud dalam
persembahannya direkaman ini pada lagu – lagunya seperti ‘Ayam Den Lapeh, Laruik Sanjo,
Titian Nan Lapuak, Baju Kuruang, Ya Mustafa, Oi Kampuang’. Namun hal
terpenting dari kelompok koor Gumarang dan Nurseha, sepertinya mempunyai
kekuatan energi dalam penjiwaan pada pantun – pantun liriknya “ONDE, ONDEEEEE..
LAH LARUK SANJOOOOOOOOO & AI,AI,AI..... AYAM DEN LAPEEEEEEEEEEHHHHHHH.....
Pengaruh kolompok ini ada dimana
– mana, album Long Play Gumarang meledak dipasaran baik di Jakarta maupun di
luar kota Jakarta. Gumarang juga dikenal dari berbagai etnis maupun suku, baik
kalangan pribumi sampai non pribumi dan disenangi kaum tua maupun muda bahkan
kalangan bawah sampai kalangan atas semua mencintai lagu – lagunya dan tepatlah
bila kelompok ini lebih unggul dibanding yang lain. Tak disangkal, kehadiran
biduanita ‘Nurseha” yang lahir di Bandung 4 Agustus 1937 asal Bukit Tinggi di
kelompok ini, menjadi salah satu kekuatan Gumarang dalam mengusung musik dan
budaya Indonesia dalam lagu – lagu Minang modern. Persembahannya pada lagu Ayam
Den Lapeh (Cipt. A. Hamid) diderretkan side B, semaikn mempopulerkan orkes
Gumarang dan membawa pengaruh yang dia sebarkan sangat besar. Liat saja, media
elektronik (Radio RRI) dan media cetak berbentuk koran atau majalah (Pedoman
Indonesia Raya, Suluh Indonesia, Pemuda & Varia Selecta) banyak menulis
tentang Gumarang secara nasional.
GUMARANG Menembus Luar Jakarta
Sangat mydah untuk menyukai
kelompok ini, terlebih para pemujanya dari kalangan bukan ‘urang awal’ yang
jatuh cinta dengan serangkaian lagu –lagunya yang dikenal lewat media piringan
hitan, RRI, koran & majalah. Nyatanya hal tersebut memang benar,
popularitas nama Gumarang terus meningkat sehngga dilirik para panitia dari
luar Jakarta, seperti : Medan, Bogor, Bandung, Tanjung Pinang (Riau), Aceh,
Surabaya, Bali, & Palembang. Bagi pra penonton bukan ‘urang awak’ kini tak
lagi mempermasalahkan apakah tetap menampilkan lagu Laruik Sanjo, Ayam Den
Lapeh, Baju Kuruang, Sansaro Badan, Denai Sansai, justru kelompok ini dinilai
sebagai musisi yang berfikiran maju, profesional, dan idealis. Tak hanya itu,
Gumarang juga selalu diperkuat dengan team pelawak, penyanyi dan penari dari
team unsur luar dikesempatan lawatannya, seperti ‘Bagio&Iskak (pelawak),
Ivo Nilakrisna, Nina Karina & Mien Sondakh (penyanyi), Rosilawati, Syaugie
Bustami, Nun Zaerina & Akhyar (penari)’. Dalam kunjungan shownya di kota
Palembang, kelompok ini mencatat sejarah yang fenomenal adalah “Menggalang Dana
unuk pembangunan Gedung Wanita di Palembang dan kelompok ini identik dengan
acara Lelang Lagu – lagu Gumarang”. Tepatnya, Gumarang tak mengenal lapisan
masyarakat,, suku & budaya, dia bisa masuk keseluruhan global industri
musik Indonesia yang berbudaya nasional dan ‘cinta tanah air’ dalam kehidupan
bermusiknya sehingga menjadi bagian dari kebutuhan masyarakat Indonesia
seutuhnya.
GUMARANG dalam Film
Sangat sulit membayang kan,
sejauh mana Nurseha bersama orkes Gumarangnya mengguncag republik ini di masa
itu. Yang jelas, keharuman nama Nurseha dan kesohoran lagu “Ayam Den Lapeh
(1960)” membuat produser dari Stupa Film tertarik memfilmkan dengan pemain Juni
Amir Mewakili orkes Gumarang sebagai pemeran utama didampingi bintang film
kenamaan Bambang Irawan & Farida Arriany. Cerita di film ini mengangkat
tema cinta sampai kehidupan masing – masing tokohnya yang makin complicated
karena soal “sikucapang sikucapeh” artinya: ‘yang dikejarpun tak dapat, yang
ditanganpun ikut lepas’. Di tahun yang sama, Usmar Ismail dengan PERFINI-nya
berhasil memvisualkan kelayar lebar kembali ketenaran lagu “Laruik Sanjo
(1960)”, tapi sangat disayangkan film ini tidak beredar. Kalau dirunut, sepertinya
bos Perfini ‘Usmar Ismail’ sudah kepincut melibatkan anggota Gumarang di
filmnya pertama kali sebagai Guest Star di Film “8 Penjuru Angin (1957)”,
selanjutnya film Masa Topan dan Badai (1963) & dibalik Cahaya Gemerlap
(1966). Penampilan Gumarang di film 8 Penjuru Angin hanya sebagai pelengkap
dari bintang – bintangnya seperti , Bambang Irawan, Bambang Hermanto, Chitra
Dewi, & Mieke Wijaya. Kerjasama Gumarang dengan insan film di beberapa
judul film lainnya “Bertamasya (1959)”, menyertakan karya cipta Syaiful Nawas
berjudul ‘Senyum Dik’. Begitupun dengan Asbon pimpinan Gumarang, memperoleh
penghormatan mengemas beberapa judul film Indonesia sebagai penata musik
seperti “Bertamasya, Ayam Den Lapeh, Laruik Sanji & Masa Topan dan Badai”.
Namun, bagi kelompok ini adalah menjadikan pengalaman berharga dan sebuah
kepedulian dalam memajukan film Indonesia.
SIMPATISAN GUMARANG
Yang jelas, posisi Gumarang
mengemban tanggung jawab besar menjadi bintang di industri musik Indonesia.
Gencarnya media cetak dan media radio yang menampilkan kelompok ini, menarik
perhatian masyarakat umum sampai kepada Presiden Orla “Ir. Soekarno”, Wakil
Presiden “Bung Hatta” dan Ibu Fatmawati Soekarno” tetapi juga Perdana Menteri
Singapura “Lee Kuan Yew”. Hal itulah yang membuat kelompok ini sering selaku
menginjakkan kaki di Istana di Jalan Merdeka Selatan, Gumarang diminta
mengadakan pertunjukan musik untuk tamu negara atau dalam rangka memeriahkan
pesta ulang tahun petinggi negara. Kelompok inipun pernah di undang mengadakan
hiburan musik di rumah Ibu Fatmawati Soekarno di Jalan Sriwijaya dengan tamu
undangan dari orang – orang besar di bidang perfilman Indonesia berakhir sukses
dan foto bersama dengan ‘Ibu Fat’. Pamor kelompok inipun tercium Departemen
Luar Negeri (Deplu), mereka diminta menampilkan musik Gumarang dihadapan tamu
negara Perdana Menteri Singapura ‘Lee Kwan Yew’ lagi –lagi meraih sukses
gemilang. Tapi, sepertinya nama Gumarang tak habis – habisnya jadi bahan
perbincangan dari berbagai profesi dimasyarakat. Lihatlah, kelompok ini diminta
untuk mengadakan pertunjukan di gedung PRESS CLUBB – Jakarta menyajikan musik
dan lagu untuk Dansa – dansi para pecandu melantai dari keturunan Tionghoa dan
orang – orang asing dari Kedubes. Mungkin hal yang paling berkesan bagi kelompok
ini adalah bermain diatas kapal “Tampomas” mengiringi Bung Karno berdansa dan
berjoget diruangan khusus didalam kapal, dengan persembahannya pada lagu – lagu
Indonesia dan lagu daerah modern lainnya sperti ‘Olesio & Rasa Sayange’.
Dalam kesempatan ini, Gumarang adalah betul – betul sebagai penghibur sejati
yang dapat memadupadankan lagu – lagu Indonesia, Latin & Minang modern ke
irama tenang sampai rentak gembira ‘blues, foxtrot, cha – cha, rumba, samba
& joget’ demi kepuasan pecandu orkes Gumarang.
Reuni GUMARANG
Memaski tahun 70’an, Gumarang
kembali menghimpun kekuatannya yang tertunda sejak ditinggal Anas Yusuf Ke
Eropa melanjutkan pendidikan musiknya atas sponsor RRI tahun 1960. Kepergiannya
saat itu meninggalkan nama besarnya dengan persembahan lagunya “Sayang Tak
Sudah: dan berbagai lagu minang modern baik produksi Lokananta, Mutiara &
Irama. Diapun menyelimuti duka rekan –rekannya disaat nama orkes Gumarang
melambung populer. Bagaimanapun juga, rekan – rekannya di Gumarang menyakini di
kelah hari kedatangan Anas Yusuf ke Republik ini akan kembali kepelukan
Gumarang. Terbukti, kedatangan Anas Yusuf bersama istrinya yang bukan ‘urang
awak’ melainkan wanita Jerman yang bernama lengkap Ingrid Michel (akrab
dipanggil Ciak Utih Inggrid) yang dikenalnya di konservatori musik di Jerman.
Akhirnya, mereka benar – benar mencuri perharian dan menjadi perbincangan
hangat setelah mengadakan pertunjukan ‘pemanasan’ di Gedung Olah Raga Istora
Senayan – Jakarta bersama sederetan insan – insan musik lain semisal ‘Elly
Kasim, Tiar Ramon, Wiwiek Abidin, Lili Syarief, Eva Nurdin dan penari Tuti
Sundari dkk’. Gebrakan perdana orkes Gumarang ditandai sebagai era “Come back”
kelompok ini setelah sekian tahun “istirahat”, setelah ditinggal pergi
personilnya Anas Yusuf ke Eropa maupun keberangkatan team Gumarang (Asbonm Juni
Amir, dan Edin Arifin) ke World Fair di New York selama satu tahun. Tidak lama
kemudian, berita duka cita meyelimuti team Gumarang dengan wafatnya ‘Yanuar
Arifin’ pianis orkes kelompok ini ditambah dengan meletus kembali peristiwa
‘Gestapu’ maka Gumarang pun ‘kandas’ pula masa kejayaannya. Tapi satu hal
pasti, kehadiran orkes Gumarang muncul ke dunia rekaman untuk meraih kembali
kejayaannya yang tertunda seletah ‘sepuluh tahun’ lamanya absen didunia musik.
Selanjutnya, kelompok ini juga punya point ‘plus’ terlihat ‘ multi ras’ dengan
kehadiran seorang seniwati berasal dari Eropa bernama ‘Ingrid Michel’ berbaur
dengan seniman – seniman anak Minang (Indonesia) seperti Anas Yusuf, Elly
Kasim, Nurseha, & Syaiful Nawas. Perpaduan kultur ‘dua’ negara tersebut
makin menambahkan nilai bagi kelompok ini membuktikan kekuatannya membuat satu
terobosan baru di musik untuk “Go Public”. Jadi, jelas sudah gambaran kelebihan
reuni ini, selain itu kelompok ini ingin menunjukkan kepenggemar kalau
sekiranya orkes Gumarang ‘masih ada’. Terlebih dngan kiprah pertamanya yang
ditandai dengan memperkenalkan lagu – lagu Minang untuk merangkul masyarakat
Minangkabau yang berada di “Kampuang jo di Nagari Urang artinya Kampung Halaman
dan di Negeri Orang”. Yang jelas, album yang berisi 12 lagu produksi ‘Prindu’
ini merupakan karya baru yang lebih terkonsep memberi warna baru seperti Angku Doto
(Cipt. Nuskan Syarif/ Syahrul Tarun Yusuf) dinyanyikan Elly Kasim, Bapisah
Bukannyo Bacarai (Cipt. Anas Yusuf) dibawakan secara duet Anas Yusuf dan Elly
Kasim, Babini Duo (Bj Saleh) dinyanyikan secara Trio oleh Nurseha, Elly Kasim,
Syaiful Nawas maupun pada lagu Mamandam Raso (Cipt. Dhira Suhud) dibawakan
secara menawan oleh Ingrid Michel. Kemudian ditahun yang sama, kelompok inipun
merilis kembali album edisi ‘NANBAGALA’ (Bergelar) menonjolkan lagu – lagu
karya terbaiknya seperti ‘Ramuak di Dalam, Apo Kadayo, Bundo, Pemenan Hiduik,
Laruik & Rang Danau’. Album ini, di dedikasikan kepada Alm. Januar Arifin
lahir.. Gadang (besar)... dan berpulang (meninggal).. dirantau. Kehadiran albun
Long Play Gumarang Nanbalaga ciptaan Alm. Januar Arifin, adalah merupakan judul
yang ‘serasi’ bertepatan dikeluarkannya keputusan Bapak Harun Zain (dahulu
menjabat sebagai Gubernur Pemda Sumbar) memberi Piagam Penghargaan kepada Orkes
Gumarang sebagai pelopor memodernisasikan lagu –lagu daerah.
GUMARANG DENGAN SISA PERSONELNYA
Seiring dengan perjalanan waktu,
nama Gumarang perlahan – lahan makin memudar sejalan dengan kemajuan teknologi
dan bertambahnya usia para personelnya yang sudah tidak muda lagi. Berawal
Wafatnya sang komponis dan pianis Gumarang ‘Yanuar Arifin’ dengan penyakit maag
akut di tahun 60 – an, kemudian disusul ‘Nurseha’ yang juga seorang wartawati
“DETIK” meninggal dirumahnya di bilangan Grogol karena penyakit lever akut. Dan
kabar kematian si Ayam Den Lapeh tersebut disiarkan pada malam hari, pukul
21.00 WIB di TVRI ‘80an dalam “Dunia Dalam Berita” dan membuat ‘pukulan’ bagi
seluruh Insan Musik, PWI & pecinta orkes Gumarang di seluruh Nusantara.
Begitu pula dengan ‘Syaugie Bustami’, meninggal dunia di Serawak – Malaysia,
mendapat serangan jantung. Pimpinan Gumarang era ke dua ‘Alidir’ mengalami
nasib yang sama, meninggal karaena sakit dirumahnya di Pasar Minggu tahun 1990.
Demikian pula ‘Hasmanan (alias Reno)’ semasa hidupnya telah berkarya menjadi
vokalis Gumarang, kemudian menjadi wartawan “ANEKA” dan almarhum juga dikenal
sebagai penulis skenario dan sutradara film Nasional, diawali film Seribu
Langkah (1961), Rio Anakku (1973), Anak – anak tak beribu (1980) dan karya
terakhirnya Dia Bukan Bayiku (1988). Berikutnya, berturut – turut ‘Taufik’
pemain alat reso – reso dan ‘Khairuddin’ pencipta lagu dan penyanyi era ‘Anwar
Anif’ inipun meninggal dunia. Belum lama kemudian, terdengar kabar ‘Joesfar
Yusuf’ menghembuskan nafas setelah merayakan pesta pernikahan salah seorang
anaknya dengan seorang pejabat atase Imigrasi Indonesia di Hongkong pada
tanggal 17 November 1994. Pada awal tahun 2000, personel yang tersisa “Asbon,
Syaiful Nawas & Juni Amir” yang sudah lanjut senja tampak lebih mewakili
perasaannya mencoba berkolaborasi dengan musisi muda yang sama sehaluan memberi
nafas baru lagu – lagu Minang modern. Lagu ‘Laruik Sanjo” sendiri pertama kali
rilis pada tahun 1960, dimana lagu ini masih diperdengarkan sampai hari ini
(tahun 2008) masih terdengar sama persis dengan 48 tahun silam... FANTASTIS.
Harus diakui, keberadaan Asbon
dan rekan – rekannya di Gumarang memang mempunyai kharisma luar biasa di hati
‘urang – urang awak’ dan masyarakat Indonesia. Ketiga nama Legenda diatas tak
henti – hentinya menciptakan generasi – generasi baru, menyebar luaskan lagu –
lagu Minang modern & Minang Klasik untuk memperkaya khasanah musik
Indonesia. Dan kabar terakhir (Agustus 2008), ‘Juni Amir’ telah menghadap
Illahi pada tahun 2000an disusul kemudian pada tahun 2005 salah satu pilar
Gumarang, ‘Asbon’ juga tutup usia.. Innalillahi Wa Inna Ilaihi Roji’un. Paling
tidak, Gumarang masih punya ‘Syaiful Nawas’ (dahulu wartawan SINAR HARAPAN
& SUARA PEMBAHARUAN) yang belum kehilangan gaya membawa penggemarnya ke
masa –masa nostalgia memperdengarkan musik Gumarang maupun lagu – lagu Minang
Modern & Minang Klasik di dua stasiun Radio “Kayu Manis (Minang Maimbau)
& RRI PRO 4 FM 92,8 MHz secara nasional. Sekedar catatan, prestasi yang
diukir Orker Guarang selama berkarier, merupakan persembahannya yang tak akan
pernah ‘berakhir’ di sanubari pecintanya untuk dikenang SELAMANYAAA. Ibarat
kata pepatah ‘Indak Lakang Dek Panehh, Indak Lapuak Dek Hujan artinya Tak
Lekang di Panas, Tak Lapuk di Hujan”, adalah memang pantas dsematkan untuk
GUMARANG.
terima kasih, artikel yang sangat berguna untuk menambah wawasan musik indonesia.., lagu pertama yang saya dengar adalah laruik sanjo di arena pameran dirgantara di lapangan ikada sekitaran 1950 akhir, kala masih SR, kala itu ortu belum punya radio.., jadi sangat sulit mendengarkan musik.
BalasHapusHalo, saya mau mengecek saja, sutan perang bustami yang disebutkan ini apakah orang yang sama dengan bustami balai pustaka? sebelumnya, saya kesulitan mencari info tentang tokoh ini, terima kasih
BalasHapus