Pada saat wawancara ini berlangsung, kami berada dalam salah satu café di Cilandak Town Square pada tanggal 16 januari lalu. Eddy Silitonga bersama putra - putri kembarnya, Marco - Mario (12 tahun) dan Nafra - Nadra (9 tahun), kini Eddy telah berusia 58 tahun. Diusianya yang setengah abad lebih ini, Eddy Silitonga tidak pernah lelah bernyanyi demi kepuasan penggemarnya. Walau tidak seproduktif dimasa-masa mudanya dulu, namun masih dapat kita jumpai bernyanyi di café-café dan hotel-hotel berbintang.
Sejak usia sembilan tahun, “icon” demikian panggilan kecilnya sudah unjuk kebolehan bernyanyinya pada jaman pemberontakan PRRI pada tahun 1958. Justru bukan dipanggung-panggung show seperti sekarang ini, melainkan Base Camp atau pos-pos pengawalan Tentara pusat diluar kota Medan dan sekitarnya, selama beberapa bulan lamanya. Hari sabtu dan minggu adalah jadwal dimana icon dijemput oleh Tentara Batalyon Infantry 133 untuk menghibur. Tinggal sang mamaklah yang meratap kepergiannya karena kekawatiran yang berlebihan akan keselamatan sang buah hati. Alasannya, masa itu Pematang Siantar khususnya kota Medan dalam suasana genting dan diberlakukan jam malam. Sepulangnya icon dari menghibur para Tentara, sering mendapat saweran upah uang antara Lima Ratus Rupiah sampai Seribu Rupiah dan diberikan ke Ibunya tapi ditepisnya “Tak perlulah aku duitmu itu?”, “kenapa mak? kan ada duitnya!..aku juga nyanyi, enak mak!!”.
Lagi, satu cerita yang sangat menyentuh. Menurutnya, kisah ini belum pernah dibeberkan ke Massmedia manapun kecuali kepada saya dan buat anda pembaca ‘Oldies Goodies’. Eddy kecil, sangat mendambakan memiliki Radio dimasa itu. Namun, karena keadaan ekonomi kedua Orang Tuanya tidak memungkinkan apalagi tinggal berdesak-desakan dirumah petak sembilan. Jangankan untuk beli radio, buat beli beras saja sulitnya minta ampun karena keadaan negeri ini pada masa itu sangat sulit. Pernah satu kejadian, Eddy kecil sedang bermain-main diparit belakang rumahnya dan mendengar suara radio yang dia fikir bersumber dari rumahnya. Eddy kecil, berteriak kegirangan sambil berlompat-lompatan ‘Mamak beli Radio…mamak beli radio…mamak beli radio’. Eddy kecil kecewa, karena ternyata tetangga sebelah beli radio baru lagi. Rupanya dengan mendengar lagu-lagu dari penyanyi yang disiarkan RRI, Eddy kecil dapat bermotivasi belajar dan mengasah tehnik bernyanyinya. Hal inilah, yang membuat saya terhenyak dan sulit digambarkan dengan kata-kata. Kini, Eddy Silitonga dapat melaju menjadi terkenal berawal inspirasinya dari sebuah radio. Ironisnya, radio baru didapatkan setelah Eddy Silitonga menginjak remaja, berhasil menjadi juara pertama dari ajang Bintang Radio Sumatera Utara jenis Seriosa Tenor dan berhak mendapatkan Radio Transistor Satu Band saat masih duduk dibangku SMA kelas dua di Pematang Siantar.
Masih, cerita yang mengharu biru dari Eddy Silitonga. Eddy remaja, membawa pulang hadiah radio yang di idam-idamkan semasa kanak-kanak dengan hati yang berbunga-bunga. Namun apa hendak dikata sang mamak sudah menanti dengan sapu lidi ditangan. Bahkan, bukan itu saja radio hadiah lomba tersebut dicampakkannya, “Tak butuhlah radio kau itu…yang kuingin kau itu, sekolah…sekolah dan sekolah!”. Ibunya berbuat demikian karena mempunyai alasan menginginkan anak-anaknya mengutamakan sekolah, apalagi Eddy Silitonga termasuk anak yang diperhitungkan dari SD sampai dengan SMA kelas satu. Sejak mengenal dunia nyanyi, Eddy sering bolos dan bahkan nilainya jeblok, sampai-sampai guru sekolahnya melaporkan ke Ibunya, ‘Mak!!, jelek kali rapornya anak itu?’, kontan saja sang mamak pingsan mendengarnya. Walaupun demikian, seiring dengan berjalannya waktu. Selain bapak, sang mamaklah sebagai motivator Eddy Silitonga melaju bak meteor. Demikian pula, Eddy tanpa cacat berhasil bernyanyi dan menghayati Adegan Video Klip lagu Mama ciptaan Murry. Dapat disaksikan penayangan video klipnya, begitu memikat para pemirsa TVRI dimasa itu. Seorang model Klip ibu separoh baya yang memerankan seorang ibu kompak berakting bagai ibu dan anak sungguhan. Terungkap pengakuan mulut dari Eddy Silitonga, bahwa model yang memerankan sosok sang Ibu tersebut tak lain dari sang mamak tercinta Theresia Siahaan.
Semasa di Medan, Eddy Silitonga membentuk band bernama Madya Sapta. Madya Sapta adalah band perkebunan PTP-III di Rantau Prapat, selain sebagai vokalis juga sebagai pemetik dawai gitar. Kemudian, Hijrah ke Jakarta setelah kepulangannya sekolah di Mapua Institue of Technology di Manila-Filpina, untuk suatu karier yang terkuak menanti harapan dan mimpi-mimpinya menjadi ’Superstar’. Dengan mengandalkan Suara Malaekat nya, demikian julukan yang diberikan Titiek Puspa kepadanya. Eddy Silitonga-pun membentuk Trio, kemudian dikontrak bernyanyi di restoran ‘Bambooden’ milik orang tua Tamara Bleszynski. Namun, tidak bertahan lama. Lalu Eddy Silitonga membentuk band Keluarga yang dinamai Eddy’s Group yang kelak mendampinginya melaju menghasilkan hits-hits, baik album Pop Indonesia, Melayu, Keroncong maupun album Daerah. Kemudian menerbitkan rekaman album solo perdana yang berjudul Cinta Ciptaan Titiek Puspa, di produksi Radio Amigos dengan penata musik Johanes Purba diawal tahun 1975. Album tersebut kurang menuai sukses. Barulah pada album Biarlah Sendiri yang diciptakan khusus Rinto Harahap kepadanya di produksi Lolypop, meledak dan menjadi Best Seller akhir tahun 1975 sampai tahun1976.
Namun, Sebelum kesuksesannya pada album rekaman. Eddy Silitonga, menjajal kemampuan vokalnya dengan keikut sertaannya lomba pada Festival Pop Singer yang dimenangkan Melky Goeslow dengan lagu ‘Pergi Untuk Kembali’ di pertengahan tahun 1975. “Eddy..kalaupun kau tidak juara nak!!, jangan kecil hati. Yang penting kau Favorit malam ini dan seterusnya kau akan favorit”, demikian pak Hoegen Imam Santoso mantan Kapolri sebagai panitia menghampiri dan membesarkan hatinya, karena penonton maupun sesama peserta ber-prediksi bahwa Eddy-lah keluar sebagai pemenang. Masih dalam ajang lomba, Eddy Silitonga mengikuti Festival Lagu Populer Nasional tahun 1976 yang dimenangkan Grace Simon. Sebuah lagu yang digubah putra sang Proklamator Guruh Soekarno Putra, berjudul ‘Renjana’ keluar sebagai lagu terbaik. Konon diperuntukkan padanya, “Entah kenapa, saya tiba-tiba tidak bisa masuk pada nada awal lagu tersebut” katanya, mengenang keanehan tersebut. Meski belum pernah memenangkan satupun kejuaraan pada Festival di Jakarta, Eddy Silitonga tetap bangga karena bisa disejajarkan bahkan populeritasnya melebihi dengan penyanyi terdahulunya seperti Broery Pesolima dan Bob Tutupoli. Baginya, prestasi tidak harus di wujudkan dengan memajang berbagai piala dirumahnya. Namun lebih dari pada itu, prestasi itu harus ditunjukkan dengan dedikasi terhadap eksistensi dan kecintaan pada musik Indonesia hingga akhir hayatnya
Kesuksesan demi kesuksesan diraihnya, tengok saja album-albumnya dari Biarlah Sendiri sampai ke album Tabahkan Hatimu, Doa, Jatuh Cinta, Rindu Setengah Mati. Hitam atas Putih, Alusi- au, Romo Ono Maling dan lain-lain. Tentunya tak terlepas dari pencipta-pencipta yang bertangan dingin seperti Rinto Harahap, Titiek Puspa, Murry, Bartje Van Houten, Johanes Purba, Is Haryanto dan pencipta khusus lagu daerah Batak Nahun Situmorang. Mereka sepertinya tahu persis, bagaimana seorang Eddy Silitonga dapat menaklukkan tingkat kesulitan pada nada-nada tinggi dalam sebuah lagu. Bahkan, dalam satu album bisa empat sampai lima buah lagu yang menduduki anak tangga Radio-radio diseluruh Indonesia. Eddy Silitonga-pun dengan sangat baik meng-interfrestasikan lagu-lagu daerah diluar daerah tanah kelahirannya, seperti: Padang, Manado, Gorontalo, Palembang dan Jawa. Eddy Silitonga menjadi “ FENOMENAL” dan menjadi Ikon sebagai Trade Mark model Rambut untuk bahan ujian bagi kursus-kursus keterampilan di salon-salon, demikian juga dengan Jenggot di dagunya, sehingga hampir semua lapisan masyarakat dari Anak-anak, Pria & Wanita dewasa pada masa itu ‘Demam’ Eddy Silitonga. Bahkan mereka rela menggores dagunya dengan benda tajam atau sejenisnya sampai luka, untuk mendapatkan jenggot buatan ala Eddy Silitonga. Ada lagi cerita tragis dibalik kenekatan para penggemarnya di daerah, menorehkan getah mengandung bisa sehingga mengalami infeksi dan mengakibatkan kematian.
Setelah kesuksesan debut pertamanya di film ‘Kembalilah Mama’ yang diperaninya bersama penyanyi Nuke Affandy, Eddy Silitonga dapat saja bermain film dengan sesuka hatinya. Bahkan, pasutri aktor film dan produser Ratno Timor dan Tien Samantha-pun pernah ditolaknya secara halus, saat mereka menawarkan bekerja sama dalam sebuah film. Dengan kerendahan hatinya, Eddy menolak dengan alasan ‘Tidak punya bakat dan tidak punya tampang sebagai bintang film’. Eddy, bermain di film tersebut hanya sebagai sarana mempromosikan lagu-lagunya dan bukan sebagai Aji Mumpung karena sedang ngetop-ngetopnya. Tahun demi tahun berganti, tentu saja film Kembalilah Mama yang dibuat tahun 70-an termasuk sudah ‘Jadul’ dilihat kacamata sekarang ini. Demikian juga, Eddy-pun sepertinya alergi kalau membicarakannya. Sekalipun saya meyakinkan bahwa film tersebut telah saya tonton semasa duduk kelas dua SMP dan menurutku aktingnya difilm tersebut cukup meyakinkan sebagai pemula, apalagi latar belakangnya bukan jebolan sekolah Teather maupun film. Bahkan film inipun cukup sukses penayangannya di Kota Daeng-Makassar, kota kelahiranku. Ada kejadian lucu yang saya paparkan, bagaimana seorang Eddy Silitonga yang Paranoid dengan film-nya sendiri. Suatu hari, film tahun 70-an ditayangkan ulang pada stasion TVRI, TPI dan TV Swasta. Salah satu stasion TV menayangkan film tersebut. Tentu saja, Eddy Silitonga kebakaran jenggot. Eddy ber-Doa, ‘Tuhan, janganlah diputar kembali film Kembalilah Mama. Oh Tuhan, Kasihanilah aku Tuhan. Tolonglah aku, Kalaupun diputar yah Tuhan..biarlah saya tidak melihatnya. Biarlah saya tidak di negeri ini, biarlah saya di luar negeri’. Ternyata Tuhan mendengar Doa umatnya dan mengabulkan permintaan Eddy Silitonga. Konon, pada saat tayang ulang di TVRI. Eddy sedang berada di Den Haag-Belanda, ketika sang istri tercinta memberi kabar lewat telepon “Tercapai juga Doa Abang, diputar itu film tadi malam bang”. Demikian Eddy Silitonga mengisahkan kejadian tersebut.
Eddy Silitonga yang telah menghasilkan ‘6 Golden Record dan sebagai Penyanyi Kesayangan Pilihan Pemirsa melalui Angket Siaran Radio ABRI sebanyak 4 kali’. Tak dapat dipungkiri adalah penyanyi Favorit keluarga mantan Presiden Orde Baru ‘Soeharto’. Beliau sering menanti dan memantau perkembangannya kapan dan saat dimana pemunculannya di Televisi. Pernah satu kejadian yang juga Eddy tidak bisa melupakannya dan merasa di telanjangi, ‘Pernah beliau menonton saya di TVRI diiriringi Gending Jawa membawakan lagu dolanan ‘Lir Ilir, Mentog-mentog, Yeng Ing Tawang Ono Lintang. Beliau masih ingat, padahal jarak penayangan lagu-lagu tersebut selang satu sampai dua tahun lamanya’. Juga saat, Beliau merayakan ulang tahun perkawinan yang dihadiri kerabat dan para undangan, artis penyanyi hanya Eddy Silitonga saja yang di undang ke Cendana menghibur beliau. ‘Yang minta, Bapak sama Ibu kok bang Eddy!’, mbak Tutut menjawab kebingungan Eddy Silitonga. Beliau ngomong begini “Eddy, Ibu sama Bapak terus nungguin Eddy nyanyi di TV, kok nggak pernah lagi?. Apa Eddy masih di Jakarta tinggalnya?, jangan bosen-bosen nyanyi disini yah?” dan “Diantara semua-semua penyanyi di Indonesia yang ngetop , tidak ada yang bawain lagu-lagu daerah , cuman Eddy yang menyanyikannya”. Beliau juga berpesan kepada saya bahwa: “Budaya kita itu beragam macam, budaya kita itu tinggi Edd!. Jadi, ini tanggung jawab siapa?, ya seniman?. Tanggung jawab Eddy dan kawan-kawan, ayo ajak temen-temen nyanyikan lagu-lagu daerah. Lagu-lagu kita itu Budaya kita, jadi harus digali terus, dilestarikan, harus kita perkenalkan ke Mancanegara”.
Suatu kesempatan, Eddy bersama rombongan sebagai Duta kesenian Indonesia di Hongkong. Eddy Silitonga waktu itu bernyanyi di iringi gitar tunggal oleh Victor Hutabarat menyanyikan lagu Mandarin ‘Ni Ce Mo Suo’, penonton semua berdiri bertepuk tangan. Tentu saja pak Sampoerno sebagai ketua seksi kesenian heran dan menanyakan ke salah satu panitia dan di jawab ‘Kok!.. ada cina item, nyanyi begitu sempurnah dan lafal yang bagus?’. Demikian juga, saat Eddy Silitonga bernyanyi di Istana Negara saat kunjungan Presiden RRC ‘Yang Shang Khun’ sedang dijamu makan malam oleh mantan presiden ‘Soeharto’. Eddy-pun, kembali menyanyikan lagu Teresa Teng tersebut. Dengan penjiwaan penuh Eddy Silitonga menghipnotis presiden RRC dan para undangan lainnya, presiden RRC langsung menghentikan makan malam serentak di ikuti yang lainnya dan menghampiri Eddy mengajak bercakap mandarin. Untung saja sang penerjemah istana tanggap dan menjelaskan “Kata beliau presiden, suara bapak begitu bagus. Kata beliau presiden, pengucapan bapak sempurnah serkali. Kata beliau presiden, penjiwaan bapak bagus sekali. Kata beliau presiden, apakah bapak bisa ngomong mandarin?”. Dijawab Eddy apa adanya ‘Sepotong-pun tidak!, selain dari pada sie sie’.
Eddy Silitonga, adalah salah satu penyanyi yang sangat prihatin dengan adanya pembajakan Kaset/ CD/ VCD dan program Soft Ware melalui You Tube semakin merajalela. Sekalipun kampanye anti Pembajakan yang di suarakan ASIRI semakin gencar atau perjuangan para pendekar HaKI (Hak atas Kekayaan Intelektual) yang di komandoi Rinto Harahap, Alamarhum A.Riyanto, Titiek Puspa dan Chandra Darusman memperjuangkan meminimalisir pelanggaran hak cipta di negeri ini. Namun masih banyak artis penyanyi merasa ruang geraknya untuk ber-aktifitas ter-penjara dan merasa mati-rasa merekam kembali suara mereka. Satu-dua dari sekian banyak penyanyi berani memodali sendiri dan mengambil resiko merugi. Terpenting baginya penggemar tidak kecewa dan tahu masih ada dan tetap eksis dibidang yang selama ini membesarkan namanya. Sebagai penutup wawancara ini, Eddy menghimbau kesadaran Masyarakat Hendaknya untuk tidak membeli Kaset/ CD/ VCD bajakan. Belilah yang Asli, selain mendapatkan mutu suara yang bagus juga membantu mengurangi peringkat Indonesia sebagai “Negeri Pembajak” sedikit mengecil dari Negara-negara ASIA lainnya.