Kamis, 25 Desember 2014

ANITA TOURISIA






ANITA TOURISIA

Kepulangannya pada tanggal 14 Desember 2014 ke Tanah Air yang tetap di cintainya bukan sekedar melepas rindu saja pada keluarga tercinta, terlebih saat mendengar sang Ayahanda ‘ Bayu Trie Wirawan’ yang sedang sakit, seorang ‘Anita Tourisia’ juga berhasil menjumpai sahabat masa kecilnya ‘Nanin Nanin Sudiar dan Yon Koeswoyo’ saat mereka sama dikenal sebagai penyanyi Populer di masa tahun 60-70’an. Anita juga rela meninggalkan anak semata wayangnya ‘Rolan Easystone’ yang dilahirkannya pada 9 October 1988 hasil pernikahan dengan seorang pria berkebangsaan Amerika ‘William Easystone’ yang telah dinikahinya pada tahun 1984 namun berakhir perceraian.

Kisahnya dimulai saat penulis mengikuti dua hari perjalanan seorang ‘Anita Tourisia’ yang bernama lengkap ‘Anithea Tourisia Trie Wirawan’ sebelum bertolak di hari jum'at 19 desember 2014 kembali keNegara tempat dimana sekarang menetap si California. Selama berada di Indonesia Anita memburu tenunan Batik untuk oleh-oleh para sahabat-sahabatnya dan sasaran yang dipilihnya adalah Thamrin City, Pasar Raya-Sarinah & Pasar Raya Blok M, juga tak ketinggalan berburu masakan khas Indonesia Daging Rendang & Jengkol Balado kesukaannya . yang sulit ditemukan diNegara kini dia menetap. Anita adalah seorang penyanyi yang sangat Populer dimasa tahun pertengahan 60’an hingga awal tahun 70’an dengan sejumlah album2nya, seperti: Mama, Selendang Merah, Bunga Mawar, Flipper, Bibi Tersayang, Pemancar Kesayangan, Dewi Amor, Konde Palsu, Si Manis, Tetesan Air Mata, Buang Sauh, Papi Tercinta, Siapa-siapa Saja, Janji Tak Bertepi, Si Manis, Air Mata, Kunang-Kunang, Tetesan Air Mata, Cabe Rawit. Dia berkisah bahwa secara profesional dimulainya ketika usianya baru menginjak 7 tahun, karena seringnya bersandung di setiap kesempatan kapan dan dimana saja dirumahnya membuat ibunya melihat bakat anak sulung dari 7 bersaudara ini menyarankan untuk bergabung di Group Band Ayahnya yang seorang Tentara berpangkat Letnan.
Anita sendiri mengakui dirinya adalah tipe orang yang sangat pemalu, namun untuk urusan tarik suara malah sebaliknya menjadi malu-maluin karena tidak mau berhenti bila tidak disuruh menyudahi memberi kesempatan yang lain. Bakat alam yang didapatnya justru bukan dari kedua orang tuanya, justru dia belajar dan menirunya dari mendengar di radio yang sedang memutar lagu-lagu barat dari kebanyakan penyanyi solo atau group Band Pria, sebut saja ‘The Beatles, Tom Jones, The Beeges, The Cat, Engelbert Humperdinck, Anita mengakui sangat favorits dengan Tina Tunner dan Freddie Mercury.

Namanya sendiri diberikan oleh kedua orang tuanya sebagai ANITA TOURISIA, sang ibu ‘Maritje Mardiana’ sangat memuja Bintang film Belanda ‘Anita Ekberg’, sementara Ayahandanya ‘Bayu Trie Wirawan’ saat itu sedang bertugas di Bali menambahkan nama belakangnya TOURISIA karena sang ayah melihat bnyak Tourist (Turis) berkunjung di Pulau Dewata ini maka menjadilah nama Anita Tourisia kelahiran Surabaya 1 Agustus 1956 adalah nama yang kita kenal sekarang ini.

Nasib mujur mendekatinya saat bernyanyi di Group Band ABRI sang Ayah dan sesekali sebagai penyanyi penampil untuk selingan di Binaria, suatu hari terlihat orang Televisi dan mengajaknya bernyanyi di TVRI. Sejak itulah 'Anita Tourisia' sering wara-wiri muncul di Layar kaca dan sesekali di Night Club tentunya masih dalam pengawasan sang Ayah & Ibu yang bertindak sebagai manajernya. Dikisahkannya pengalaman menariknya adalah saat usia 7 tahun dan belum rekaman album , di bawa oleh pelawak ‘S Bagio’ show ke Surabaya bersama penyanyi senior dimasanya ‘Lilies Suryani, Ida Royani, Aida Mustafa’, dia ingat betul rasanya sebagai orang baru terjun sebagai biduan mendapat perlakuan diskriminasi dari sekitarnya sementara penyanyi lainnya mendapat jatah menyanyi dua lagu sementara dia hanya kebagian satu lagu. Dengan baju dan dandanan ala kadarnya, Anita tidak menyia2kan kesempatan emas untuk unjuk kebolehan tarik suara seperti seniornya dan menyanyikan lagu AKI tembang dari negara Francis. Saat itu ruangan gelap gulita dan tak telihat penonton, Anita berfikir tidak ada penonton dan tetap bernyanyi, namun saat menyudahi lagu lampu baru menyala dan tiba2 suasana riuh tepuk tangan seperti tak ingin berkesudahan. Barulah Anita sadar ternyata, penonton membludak penuhi ruangan gedung dan akhirnya panitia memohon ke S Bagio agar Anita bersedia bernyanyi kembali untuk kepuasan penonton yang berteriak2 ‘more..more..more’. Satu lagi kisah yang membuatnya suka senyum simpul sendiri hingga hari ini, kejadiannya ‘saat bernyanyi di Night Club – Sarinah’ rambut palsu (wiq) yang dipakainya lepas dan jatuh ke lantai saat menyanyikan lagu ‘I Who Have Nothing’ sehingga menyisakan rambut aseli dengan sejumput konde berIkat karet gelang saja. Adalah sangat sulit membayangkan betapa malunya bila terjadi semacam itu dan menjadi aib bagi seorang biduan bila mengalami hal semacamnya, konon Bulu Mata palsu pun bila terjatuh kelantai maka akan terdengar hembusan anginnya dan siap2 untuk di dakwa... ada dua pilihan si Biduan berlari sambil menangis atau memungutnya namun resikonya penonton akan meneriakinya dan mengejeknya habis-habisan. Bukan Anita namanya bila tidak memiliki akal membuat sekonyong2 hanya sebuah dagelan...?, lalu dipungutnya rambut palsunya dan kembali memasang dirambutnya sambil menatap ke penonton yang terdiam seribu bahasa menunggu pengHakiman untuk mendakwa dan apa kira2 pembelaan oleh penyanyi ini?... Rupanya Anita memasang kembali rambut palsu sedapatnya dan mendelikkan mata sebesar Jengkol, menaikan tangan meniru mongkey dan menjulurkan lidah seperti guguk sambil berkata weeeeeeeeek... Kontan penonton yang terdiam tadi tiba-tiba tertawa terpingkal2 karena menyangka Anita sedang melawak, hahahahahahahah.. kena deh loe penonton.
Akhirnya seorang Produser Rekaman mengajaknya membuat Album dimana Anita Tourisia bergandengan dengan ‘Nanin Sudiar’ masing2 mereka membawakan 3 buah lagu dalam bentuk rekaman vinyl atau plat, sayangnya mereka berdua sama lupa judul album tersebut. Kemudian Anita Tourisia kembali muncul pada album ‘Sepeda Mini’ dan menjadikan namanya menjulang adalah pada album ke Tiganya yang berjudul ‘Mama/ Syair D.Djufri & lagu Selendang Merah/ cipt. A Riyanto’. Sayangnya pihak produser tak mau merugi untuk buru-buru melepas kepasaran album ke 4 dari Anita Tourisia mcurlah album ‘Bunga Mawar/cipt. A Riyanto & Anak RT Jadi Pengantin/Cipt. D Djufari, benar saja album ini tidak sedahsyat album sebelumnya. Kemudian diceriterakan kembali oleh Anita bahwa ada seorang produser yang gagal menggaet pasangan Titiek Sandhora & Muchsin dan tertarik melihat Anita Tourisia yang dipikirannya mampu menyaingi atau setidaknya menyamakan kepopuleran Titiek Sandhora & Muchsin dengan menyandingkan seorang penyanyi pria dewasa bernama ‘Dydy Yuda Prawira lewat album Dudidu Didu & Rejeki Nomplok/cipt.Wedaswara, benar saja pasangan baru ini cukup menggetarkan hati penikmat musik Indonesia dimasanya. Sayangnya pasangan ini seumur jagung dan Anita Tourisia tetap melenggang sebagai penyanyi solo wanita yang memiliki suara khas yang tidak dimiliki penyanyi seangkatannya dan tour show tidak saja di wilayah Indonesia dari sabang sampai merauke tapi sudah merambah ke negara Asia bahkan 2 buah album di hasilkannya di negara Singapura dari recording Cameron dengan sejumlah single seperti: Di Taman Bunga, Pantai Besji, Hiasan Mimpi, Biarkan Ku Menangis.

Pada Usia 11 tahun, ke populeran namanya, mobil mewah, rumah mentereng dan uang banyak diperolehnya saat album MAMA meledak di pasaran, rumah lama di Asrama ABRI Tanjung Priuk di tinggalkannya dan menempati rumah baru hasil jerih payahnya dari hasil ngamen di daerah Tomang- Jakarta Pusat. Rumah barunya terbilang luas dan besar, tujuannya agar menampung kedua orang tua dan adik2nya yang selama ini memberikan suport kepadanya sehingga menjadikannya seorang biduan Populer dimasanya. Patutlah rasanya Anita Tourisia menikmati hasil jerih payahnya dari album2nya, show-show ke berbagai Negara Asia seperti Singapura, Malaysia dan daerah2 Indonesia di Lakoninya sehingga dimasa itu tidak ada yang tak mengenal nama Anita Tourisia. Namanyapun menjadi buah bibir di kalangan musisi dan media yang melibatkannya sebagai tandingan ‘Titiek Sandhora’, terlebih lagu ‘Mama/syair.D. Djufari, Selendang Merah/cipt.A Riyanto & Pemancar Kesayangan/cipt.Wisjnu M’ menjadi lagu wajib di radio Nusantara. Namanya sering dicatut oleh panitia show, seperti diakuinya pernah terjadi di Medan Namanya dicatut oleh panitia show, seperti diakuinya pernah terjadi di Medan seseorang melaporkan padanya melihat Anita sedang show, Anita kaget dan terperanjat karena disaat sama dia merasa tdk pernah terlibat show didaerah tersebut dan setelah diusut ternyata sesorang penyanyi daerah yang didandanin mirip Anita Tourisia dan menyanyikan lagu-lagu hits darinya secara Lipsing.


Tahun 1974 adalah album terAkhir yang dihasilkan dan Anita Tourisia mulai kePincut melebarkan sayap untuk diAkui menjadi penyanyi Internasional, saat itu Anita sedang bernyanyi sambil Dance, seorang pencari bakat wanita-wanita muda & cantik menguasai Ballet untuk diajak sebagai Dance & Ballet di Rumania bernama ‘Pieter’. Sang ayah menolak tegas dan membukakan mata Anita bahwa bila disana tentunya sang ayah tak mungkin bisa menemaninya kemana dia bisa pergi. Kekerasan hati Anita untuk hengkang dari Tanah Airnya menjadi kekuatannya untuk memastikan  menjemput impian pada tujuannya Amerika, terlebih Anita mempunyai kekasih koresponden di California bernama ‘Darrel Bratty’ adalah seorang Lawyer terkemuka pastilah dapat membantunya untuk raih impiannya.  Anita sang pemalu yang polos tak pernah menoleh kebelakang dan didongakkan kepalanya menatap lurus bahwa untuk menjadi super star dunia harus rela berkorban berpisah dari populeritas  yang sudah didapatnya dan orang2 dicintainya. Sayangnya apa yang dipikirannya adalah  selalu  perjalanan mulus itu tidak dijumpainya, sahabat korrespondentnya dengan seorang penyanyi Amerika ‘Neil Diamond’ saat itu tidak dijumpainya untuk merekomendasikan untuk bisa masuk diNegara yang ditujunya karena sedang show  di England terlebih pakaian dan uang banyak tertinggal si koper ke penerbangan New York.  Anita terbengong sendiri di Airport, mulai gambaran2 diotaknya tentang  kebrutalan  negara paman sam mulai berkecamuk kalau2 dia dirampok bahkan dibunuh terlebih perempuan seorang diri tak mungkin menyusul sang idola  korrespondent  ke Los Angeles tanpa baju ganti dan uang.  Namun Tuhan tidak ingin melihatnya lama2 berpikir buruk2 kekerasan dunia karena dia percaya Tuhan ada dimana2 dan selalu tunjukan keEsaanya, benar saja seseorang juga sedang kebingungan karena kopernya juga ikut terbang ke New York bersama koper Anita.  Dia adalah seorang suku Indian yang baru saja bertugas sebagai tentara di Korea dan tadi dipesawat satu duduk dibarisan bangku sama tapi sepanjang penerbangan tidak bersapa.  Tentara Indian kemudian menawarkan untuk kerumahnya daripada seorang diri di Airport dan janjinya bseok kembali sama mencari kopernya, Anita manut dan menurut saja tanpa beban dan berfikirin negatif kepada orang yang baru dikenalinya.  Anita dibawa kepemukiman suku Indian dan diperkenalkan ke Ibu dan saudari perempuannya disinilah Anita merasa lega dapat tidur habiskan mimpi malamnya di kamar pemuda suku yang rela berbagi untuk Anita dan dia sendiri memilih tidur disofa ruang tamu. Esoknya pemuda Indian menepati janjinya mengantar Anita mengurus  kopernya dan setelahnya mereka berpisah untuk  masing2 menata kembali kehidupannya, oh iya .. sayangnya sang dewa penolong itu  Anita sama sekali tidak ingat namanya kecuali melukiskan bahwa wajahnya mirip ‘Charles Bronson’ si iklan Mandoooom itu sehingga penulis tidak mencantumkan namanya.

Akhirnya Anita menempati sebuah Apartement dan lambat laun sudah mulai beraktivitas layaknya seorang wanita kepasar belanja keperluan sehari2 yang Anita tidak pernah lakukan saat masih di Indonesia mulai dari masak memasak dan mengenal  dugem dan pesta2 anak muda-dmudi sehingga tidak terasa masa visanya sudah habis  dan harus perpanjangan masa berlakunya sementara  pekerjaan sebagai penyanyi belum juga berpihak padanya.  Seorang pria kenalannya bernama ‘Robert King’ menawarkan solusi untuk menikahi dengan maksud dan tujuannya sebagai penjamin untuk mendapatkan ‘green card’, Anita manut saja dan mulai merambah menyanyi2 di cafe & resto tanpa harus main petak umpet dengan  Imigrasi.  Selama  hitungan  bulan  perpisahannya dengan pemuda Indian yang mirip Charles Bronson itu, Anita dan Robert King berkunjung ke pemukiman suku indian untuk sampaikan terimakasih sekligus memperkenalkan suaminya dan betapa terkejutnya Anita mendapat kabar dari para tetangga suku indian itu bahwa si Charles Bronson itu sebenarnya sudah meninggal 3 tahun lalu tewas dimedan perang.  Kepala Anita menjadi pusing terasa nanar dan bumi berputar, langit seakan runtuh bila dia ingat betul pertemuannya pemuda indian itu, duduk berdampingan dalam pesawat, sama ketinggalan koper dan bahkan sudah pernah menempati kamar tidur dirumahnya maupun kembali mengantar ke Airport untuk mengurus kopernya  adalah anita percaya adalah seseorang yang dikirim Tuhan untuk menolongnya... Wallahualam.

Menjadi Artis diNegara orang adalah bukan gampang seperti permainan sulap langsung abrakadabra, belum lagi   bahaya terjebak kedalam mulut harimau, bahkan bisa masuk kandang singa, produser disana blak2an menawarkan  seorang penyanyi bisa diorbitkan asal bisa menemaninya dulu tidur dan lebih parahnya ada yang menawarkannya asal bisa melakukan ‘oral sex’ ditonton banyak orang lain.  Bila soal itu Anita bukanlah orangnya yang gampangan untuk bisa diajak tidur demi popularitas terlebih masih ingat bahwa wanita indonesia masih mempunyai norma2 ketimurannya yang dijunjung tinggi terlebih sudah memiliki suami.  Karir menyanyi Anita cukup melesat bagai panah,  pertunjukan shownya diberbagai negara seperti; Canada, Alaska,  New York dan seluruh Amerika sudah disinggahinya sehingga pernikahannya diujung tanduk karena ketidak siapan Anita memiliki Baby dan prioritas adalah karir impian semasa di Indonesia. Akhirnya pernikahan Anita dengan Robert Kingpun kandas, mereka berpisah dengan damai tanpa ada permusuhan dan semata2 hanya karena pernikahan untuk sebuah green card saja. Akhirnya  Anita melenggang  sebagai penyanyi di pub sehingga kesempatan  dari mr William  ‘Morris Agency’ terpaksa terlewat karena sang pemilik pub sudah mengikat penyanyinya dengan kontrak sepihak, hingga suatu hari sepasang suami istri dari salah satu tamu tetap sering memperhatikan dengan seksama tindak tanduk Anita. Pada akhirnya diketahuinya bahwa sepasang suami istri ini tertarik merekrut  Anita sebgai spionase atau intelijen Agen Asing Rahasia yang tetap sebagai penyanyi namun mempunyai tugas memata-matai pub-pub yang di singgahinya karena terendus ada kegiatan portitusi.

Anita Tourisia kini sudah meninggalkan  aktivitasnya sebagai penyanyi dan dia ingat terakhir kalinya masih melempar album ‘Little Teaser’ pada tahun 1984 produksi Amerika saat masih bersama suami keDuanya ‘William Easystone’ yang bertindak sebagai produser dimana album inipun sempat beredar di indonesia.  Begitupula Anita menyempatkan  pulang kampung di Indonesia menerima show di jakarta selama 1bulan dan Jogyakarta 1 minggu  menjadi saksi sebagai ucapan ‘Good Bye’ pada dunia yang dulu membesarkannya.  Anita berceritera dengan dunia barunya bahwa: ‘pernah menerima Teror Ancaman Pembunuhan dan merasa sangat ketakutan bersembunyi di bagasi mobil berjam-jam sebelum dianggapnya benar2 aman dan bahkan pernah di dampingi bodyguard bila hendak kemana2’.  AnitaTourisia yang  lembut berkulit halus kini tidak ditemukan di dirinya lagi,  yang ada sekarang Anita Tourisia  penuh otot dan tubuhnya berhias dengan Tatto,  dikisahkannya: mulai tertarik dunia barunya  sebagai Detektif Swasta yang sudah dia geluti pada pertengahan 80’an termasuk menjanjikan dibanding dunia seninya yang melelahkan dan hasilnya tidak sebanding’.  Akhirnya  Anita sipenyuka beladiri seperti; Kung Fu, Pencak  Silat, Menembak, TaekWondo, Jiu-Jitzu, dll  mendapat dukungan suami barunya ‘Paul Blaum’  mendirikan Perusahan diberi nama  ATB (Anita Tourisia Blaum)  Investigations bidang Private Investigations dan sudah berdiri sejak tahun 1990 hingga sekarang dengan merekrut karyawan  24pria dan beberapa wanita yang lebih tertarik dibelakang meja sebagai Admin dari pada ke lapangan yang penuh intrik membahayakann nyawanya, mereka terdidik menyukai tantangan menjadi mata-mata dan  kadang2 memburu  targetnya sampai kepelosok  pinggiran Amerika.  Demikianlah kisah kebersamaan singkat dengan Anita saat berkunjung ke Indonesia tanah kelahirannya dan rencananya medio january 2015 kembali ke Indonesia untuk tujuan urusan yang akan diselesaikannya dan tak lupa kembali menemui sahabat  kentalnya teteh Nanin Sudiar maupun si Penulis JCL sang pembawa keceriaan.... Sekian!!!

Rabu, 17 September 2014

GUMARANG





GUMARANG
“Musik Indonesia dari Daerah Minangkabau”
Penulis: JOSE CHOA LINGE 


Alkisah, sekelompok pemuda Indonesia yang berasal dari Minangkabau bersatu mewujudkan impian musiknya membawa lagu – lagu minang modern dengan iringan musik yang bukan tradisional. Mereka, melakukan apa yang harus diinginkannya utuk memajukan unsur musik Indonesia dari daerah Minangkabau yang sudah ada sebelumnya dijaman penjajahan Hindia Belanda – Voor De Oorlog. Demi meneruskan perjuangan “Penghibur Hati” yang di pimpin SUTAN PERANG BUSTAMI dengan serangkaian albumnya yang sudah mengukir sejarah musik mulai dari lagu ‘Kapainyo sampai Dayung Palinggam’, kelompok pemuda inipun terinspirasi mengikuti perjalanannya. Akhirnya, kelompok anak – anak muda yang menguasai alat musik & vokal ini, terdiri dari ‘ Awaluddin, Yus Bahri, Syaiful Nawas, Hasmanan (Reno), Alidir, Anwar Anif, Sumwa, Azwar, Dhira Suhud, Joesfar Yusuf (Malano), Khaeruddin & Taufik’, sepakat memberikan nama perkumpulannya “GUMARANG”. Nama Gumarang sendiri diberikan oleh Awaluddin yang diambil dari cerita legenda Minangkabau yang berarti “Nama seekor kuda yang warna bulunya putih, berlari cepat dan sangat lincah”. Akhirnya, perkumpulan ini dikenal bukan dalam bentuk band, tetapi lengkapnya “ORKES GUMARANG”.
SEJARAH GUMARANG
Pertama kali terbentuk sekitar tahun 1954, dimana menjadi markas berkumpulnya sekitar ‘sepuluh’ pemuda Indonesia berasal dari ranah Minang disebuah rumah seorang pemuda bernama ‘Yus Bahri’ yang terletak di jalan Jambu, Menteng – Jakarta. Sunggu tidak terduga pertemuan anak – anak muda ini selalu mengemukakan ide – ide yang sungguh cemerlang dengan keinginan mereka mendirikan perkumpulan musik. Hanyalah sebuah mitos yang berani menuding mereka hanya sekelompok pemuda kampung tanpa bakat dan hanya mampu menjadi pedagang kelontong disekitar Pasar Senen (sekarang disebut K-5) dan bahkan menjadi supir oplet sekalipun dijaman itu. Usaha anak – anak muda inipun menghimpun kekuatan dengan masing – masing keahliannya diantaranya, Azwar, Alidir & Anwar Anif pada gitar sedangkan Azwar (merangkap bermain gitar), Hasmanan, Joesfat Yusuf & Kairuddin sebagai vokalis, selebihnya pada permainan Bass, Piano, Bongo & Gendang. Pada akhirnya, mereka berhasih memunculkan pertunjukan yang memukau dengan permainan ‘Gendang, Bongo, Marakas, Gitar & Bass” dengan mempertahankan kelestarian “Rentak Joget & Rentak Gamat’ sebagai pembuktiannya. Hal  yang paling mencolok di kelompok ini dengan kehadiran Zainal Ardi (mantan suami kedua Titiek Puspa), keduanya bergabung memperkuat team musik Gumarang. Kelompok yang dipimpin Anwar Anif inipun mengikuti perkembangan zaman dengan menyerap gaya “Xavier Cugat”, sebuah kelompok band yang sedang digandrungi dimasa itu dan menjadi kekuatan musik dari Gumarang itu sendiri.

GUMARANG TAMPIL DI RRI
Terobosan baru mulai dilakukan Gumarang adalah pertama kali muncul di RRI tahun 1955 berkat usaha dari Zainal Ardi yang bekerja sebagai penyiar di RRI – Jakarta (pindahan RRI Palembang), dia melakukan pendekatan dengan para pejabat – pejabat seksi musik RRI yang akan menguji musik Gumarang. Mereka melakukan langkah yang paling mudah untuk menghadapi tes musik itu dengan eksplorasi musik pada lagu “Dayung Palinggam & Tari Payung”, Anwar Anif dan kawan – kawan tanperlu terbebani dengan pengalaman musik mereka yang baru ukuran “sejengkal” & masih “hijau”. Sebaliknya mereka menunjukkan suatu pengembangan bermusiknya di hadapan para juri seperti, “Gordon Tobing, Ismail Marzuki, Iskandar & Sudarnoto” sehingga mereka berpeluang besar untuk lolos seleksi. Pada hari selanjutnya, orkes Gumarang Muncul perdana di acara siaran musik hidup (live) malam hari dengan persembahannya beberapa lagu Minang modern versi lama dan baru “Si Upiak, Sempaya, Nasib Sawah Lunto & Kaparak Tingga” sebuah persembahan yang lancar dan mulus. Setelah sukses siaran perdana Gumarang, bermunculanlah kritik pedas maupun berupa pujian dari penggemar radio maupun ‘urang – urang awak’ sendiri. Seperti kutipan sdr. A. Sukardi dari media “Mimbar Taruna”, ‘Mengapakah putra – putri Minang masih menciptakan lagu – lagu yang memakai bahasa daerah, sedangkan di pulau Jawa sana komponis Gesang dan konco –konco menciptakan lagu – lagu yang kata – katanya terdiri dari bahasa Indonesia???’. Bagi kelompok ini, hal tersebut adalah sebuah renungan dan menganggap kritik tersebut adalah awal langkah menuju sukses, ‘Kurang pantas kritik itu didengan kuping kiri lalu menembus kuping kanan, dengan kata lain lebih baik tidak perlu didengar sama sekali’ ungkap Syaiful Nawas. Apa yang dilakukan kelompok ini, telah membuktikan bahwa persembahannya mampu menghipnotis yang bukan di monopoli ‘urang – urang awak’ saja tetapi ada yang berasal dari luar Minangkabau. Perlu dicatat, kelompok ini secara tetap mengisi acara musik hidup (live) “PANGGUNG GEMBIRA” di studio V yang dipercayakan RRI pada Gumarang.
GUMARANG & ORKES STUDIO JAKARTA (OSJ)
Keberhasilan nama Gumarang, membuat seorang Syaiful Bahri pemimpin dari Orkes Studio Jakarta (OSJ) mengundang kelompok ini memperkuat pagelaran musiknya di gedung Kesenian Jakarta. Walau kolabirasi ini hanya team vocal Gumarang saja yang dilibatkan bergabung dengan Orkes Studio Jakarta (OSJ), namun keputusan ini tidak membuat yang lain berkecil hari malah sebaliknya berlapang dada dan saling mendukung. Dalam pagelaran ini tidak hanya menampilkan Gumarang saja, begitupun sebaliknya orkes besar ini mnggetahkan penyanyi intinya seperti Ping Astono, Bing Slamet, Sal Salius, Sam Saimun & Said Effendy adalah termasuk penyany top dijamannya. Biar tambah menarik, acara konser ini disajikan lagu – lagu hiburan, keroncong, melayu termasuk lagu – lagu Minang modern dan sebagai pemeriah diperagakan tari – tarian Indonesia serta tari –tarian daerah. Tak heran, kalau kemudian team vokal Gumarang mendapat sambutan yang meriah dengan persembahannya pada lagu “Dayung Palinggam, Limpapeh Rumah Nan Gadang & Tari Payung” yang diiringi penari – penari yang terpilih seperti , Rosilawaty, Yus Bahri dan beberapa penari lain. Begitupun dengan penampilan Gumarang bersepanggung dengan beberapa orkes top dimasa itu seperti ‘Dolok Martimbang & Eka Jaya Combo’, diperkuat trio pelawak ‘Bing Slamet, Cepot & Udel’ di gedung Olah Raga Senayan. Persembahan ketiga orkes ternama ini, memperlihatkan kepada masyarakat Indonesia bahwa betapa indahnya ragam budaya dan keseniannya dengan tembang – tembang dari berbagai sukunya tanpa harus memilih satu diantaranya melainkan berpihak untuk ketiganya. Sukses Gumarang bersepanggung dengan OSJ maupun Dolok Martimbang & Eka Jaya Combo adalah sebagai langkah pertama, yang dapat iikuti kerjasama yag lain dikemudian hari.

FORMASI BARU GUMARANG
Meskipun kepergian salah seorang anggota pelopor kelompok ini ‘Anwar Anif’ meninggalkan Gumarang secara mendadak, tidaklah membuat orkes Gumarang menjadi bernatakan ketiadaan pimpinan. Justru sebaliknya, di tangan sang gitaris ‘Alidir’ yang ditunjung memegang tongkat kepemimpinan adalah menjadi faktor penyelamat orkes ini. Apalagi dengan bergabungnya ‘Asbon’ seorang gitaris yang punya nama di Padang, dan juga masuknya seorang pianis handal ‘Yanuar Arifin’ membawa pengaruh sangat besar dalam perubahan warna Gumarang. Lihat saja pembaharuan yang dilakukan kepemimpinan Alidir ini, aransemen musiknya diperkuat dengan (gendang/drum) dan Hasnanan, Joesfar Yusuf, Khairuddin, Zainul & Djusna Tahir (vocal) yang kemudian penyanyi satu – satunya wanita inipun meninggalkan Gumarang. Mungkin menjadi hal yang lumrah di tubuh kelompok ini bahwa ada yang pergi dan ada pula yang datang memperkuat Gumarang. Namun demikian terlepas dari kekurangan dlam tubuh kelompok ini, Gumarang tetap tampil jauh lebih baik dari sebelumnya. Perlu diketahui yaitu, bahwa seorang Alidir sudah mampu membawa kelompok ini ke bilik rekaman musik Gumarang di perusahaan Piringan Hitam Lokananta (milik Deppen) memainkan lagu “Lipapeh Rumah Nan Gadang, Bujang Kirai, Baju Kuruang, Laruik Sanjo, Titian Nan Lapuak” tahun 1956. Dia juga menunjukkan hal lain dari kepemimpinannya yakni, aransemen Gumarang memang enak didengar memakai rentak gamat, joget, beguine, ruma, cha – cha, latin dan musik Gumarang tambah kuat karena pukulan gendang, bongo, maakas & bas Betotnya. Pada akhirnya, kepemimpinan Gumarang diserahkan ‘Asbon’ untuk melanjutkannya, dan bisa ditebak formasi pada vocal berubah ‘Anas Yusuf, Junu Amar, Asbon, Syaiful Nawas & kehadiran penyanyi dari orkes “Kenangan” yang tak lain adalah ‘Nurseha’ menggantikan posisi penyanyi wanita sebelumnya yang mengundurkan diri, antara lain ‘Djusna Tahir, Titis Idris & Eny’.
GUMARANG dengan “AYAM DEN LAPEH”
Di tahun 1958 adalah dimana kelompok ini menghasilkan album berikutnya di perusahaan Piringan Hitam IRAMA milik mantan Purnawirawan TNI-AU ‘Suyoso Karsono’. Yang pasti, Gumarang membuktikan rekaman kali ini lebih mampu mengguncang dunia musik Indonesia dengan serangkaian lagu – lagunya yang sudah menjadi idola masyarakat dikala itu. Kelompok ini menunjukkan kesungguhan dan hebatannya dalam bekerjasama dan kita juga tidak akan pernah mendengan mereka separuh hati dalam berlatih. Mereka selalu kompak dan bersungguh – sungguh, dan itu terwujud dalam persembahannya direkaman ini pada lagu – lagunya seperti ‘Ayam Den Lapeh, Laruik Sanjo, Titian Nan Lapuak, Baju Kuruang, Ya Mustafa, Oi Kampuang’. Namun hal terpenting dari kelompok koor Gumarang dan Nurseha, sepertinya mempunyai kekuatan energi dalam penjiwaan pada pantun – pantun liriknya “ONDE, ONDEEEEE.. LAH LARUK SANJOOOOOOOOO & AI,AI,AI..... AYAM DEN LAPEEEEEEEEEEHHHHHHH.....
Pengaruh kolompok ini ada dimana – mana, album Long Play Gumarang meledak dipasaran baik di Jakarta maupun di luar kota Jakarta. Gumarang juga dikenal dari berbagai etnis maupun suku, baik kalangan pribumi sampai non pribumi dan disenangi kaum tua maupun muda bahkan kalangan bawah sampai kalangan atas semua mencintai lagu – lagunya dan tepatlah bila kelompok ini lebih unggul dibanding yang lain. Tak disangkal, kehadiran biduanita ‘Nurseha” yang lahir di Bandung 4 Agustus 1937 asal Bukit Tinggi di kelompok ini, menjadi salah satu kekuatan Gumarang dalam mengusung musik dan budaya Indonesia dalam lagu – lagu Minang modern. Persembahannya pada lagu Ayam Den Lapeh (Cipt. A. Hamid) diderretkan side B, semaikn mempopulerkan orkes Gumarang dan membawa pengaruh yang dia sebarkan sangat besar. Liat saja, media elektronik (Radio RRI) dan media cetak berbentuk koran atau majalah (Pedoman Indonesia Raya, Suluh Indonesia, Pemuda & Varia Selecta) banyak menulis tentang Gumarang secara nasional.

GUMARANG Menembus Luar Jakarta
Sangat mydah untuk menyukai kelompok ini, terlebih para pemujanya dari kalangan bukan ‘urang awal’ yang jatuh cinta dengan serangkaian lagu –lagunya yang dikenal lewat media piringan hitan, RRI, koran & majalah. Nyatanya hal tersebut memang benar, popularitas nama Gumarang terus meningkat sehngga dilirik para panitia dari luar Jakarta, seperti : Medan, Bogor, Bandung, Tanjung Pinang (Riau), Aceh, Surabaya, Bali, & Palembang. Bagi pra penonton bukan ‘urang awak’ kini tak lagi mempermasalahkan apakah tetap menampilkan lagu Laruik Sanjo, Ayam Den Lapeh, Baju Kuruang, Sansaro Badan, Denai Sansai, justru kelompok ini dinilai sebagai musisi yang berfikiran maju, profesional, dan idealis. Tak hanya itu, Gumarang juga selalu diperkuat dengan team pelawak, penyanyi dan penari dari team unsur luar dikesempatan lawatannya, seperti ‘Bagio&Iskak (pelawak), Ivo Nilakrisna, Nina Karina & Mien Sondakh (penyanyi), Rosilawati, Syaugie Bustami, Nun Zaerina & Akhyar (penari)’. Dalam kunjungan shownya di kota Palembang, kelompok ini mencatat sejarah yang fenomenal adalah “Menggalang Dana unuk pembangunan Gedung Wanita di Palembang dan kelompok ini identik dengan acara Lelang Lagu – lagu Gumarang”. Tepatnya, Gumarang tak mengenal lapisan masyarakat,, suku & budaya, dia bisa masuk keseluruhan global industri musik Indonesia yang berbudaya nasional dan ‘cinta tanah air’ dalam kehidupan bermusiknya sehingga menjadi bagian dari kebutuhan masyarakat Indonesia seutuhnya.

GUMARANG dalam Film
Sangat sulit membayang kan, sejauh mana Nurseha bersama orkes Gumarangnya mengguncag republik ini di masa itu. Yang jelas, keharuman nama Nurseha dan kesohoran lagu “Ayam Den Lapeh (1960)” membuat produser dari Stupa Film tertarik memfilmkan dengan pemain Juni Amir Mewakili orkes Gumarang sebagai pemeran utama didampingi bintang film kenamaan Bambang Irawan & Farida Arriany. Cerita di film ini mengangkat tema cinta sampai kehidupan masing – masing tokohnya yang makin complicated karena soal “sikucapang sikucapeh” artinya: ‘yang dikejarpun tak dapat, yang ditanganpun ikut lepas’. Di tahun yang sama, Usmar Ismail dengan PERFINI-nya berhasil memvisualkan kelayar lebar kembali ketenaran lagu “Laruik Sanjo (1960)”, tapi sangat disayangkan film ini tidak beredar. Kalau dirunut, sepertinya bos Perfini ‘Usmar Ismail’ sudah kepincut melibatkan anggota Gumarang di filmnya pertama kali sebagai Guest Star di Film “8 Penjuru Angin (1957)”, selanjutnya film Masa Topan dan Badai (1963) & dibalik Cahaya Gemerlap (1966). Penampilan Gumarang di film 8 Penjuru Angin hanya sebagai pelengkap dari bintang – bintangnya seperti , Bambang Irawan, Bambang Hermanto, Chitra Dewi, & Mieke Wijaya. Kerjasama Gumarang dengan insan film di beberapa judul film lainnya “Bertamasya (1959)”, menyertakan karya cipta Syaiful Nawas berjudul ‘Senyum Dik’. Begitupun dengan Asbon pimpinan Gumarang, memperoleh penghormatan mengemas beberapa judul film Indonesia sebagai penata musik seperti “Bertamasya, Ayam Den Lapeh, Laruik Sanji & Masa Topan dan Badai”. Namun, bagi kelompok ini adalah menjadikan pengalaman berharga dan sebuah kepedulian dalam memajukan film Indonesia.

SIMPATISAN GUMARANG
Yang jelas, posisi Gumarang mengemban tanggung jawab besar menjadi bintang di industri musik Indonesia. Gencarnya media cetak dan media radio yang menampilkan kelompok ini, menarik perhatian masyarakat umum sampai kepada Presiden Orla “Ir. Soekarno”, Wakil Presiden “Bung Hatta” dan Ibu Fatmawati Soekarno” tetapi juga Perdana Menteri Singapura “Lee Kuan Yew”. Hal itulah yang membuat kelompok ini sering selaku menginjakkan kaki di Istana di Jalan Merdeka Selatan, Gumarang diminta mengadakan pertunjukan musik untuk tamu negara atau dalam rangka memeriahkan pesta ulang tahun petinggi negara. Kelompok inipun pernah di undang mengadakan hiburan musik di rumah Ibu Fatmawati Soekarno di Jalan Sriwijaya dengan tamu undangan dari orang – orang besar di bidang perfilman Indonesia berakhir sukses dan foto bersama dengan ‘Ibu Fat’. Pamor kelompok inipun tercium Departemen Luar Negeri (Deplu), mereka diminta menampilkan musik Gumarang dihadapan tamu negara Perdana Menteri Singapura ‘Lee Kwan Yew’ lagi –lagi meraih sukses gemilang. Tapi, sepertinya nama Gumarang tak habis – habisnya jadi bahan perbincangan dari berbagai profesi dimasyarakat. Lihatlah, kelompok ini diminta untuk mengadakan pertunjukan di gedung PRESS CLUBB – Jakarta menyajikan musik dan lagu untuk Dansa – dansi para pecandu melantai dari keturunan Tionghoa dan orang – orang asing dari Kedubes. Mungkin hal yang paling berkesan bagi kelompok ini adalah bermain diatas kapal “Tampomas” mengiringi Bung Karno berdansa dan berjoget diruangan khusus didalam kapal, dengan persembahannya pada lagu – lagu Indonesia dan lagu daerah modern lainnya sperti ‘Olesio & Rasa Sayange’. Dalam kesempatan ini, Gumarang adalah betul – betul sebagai penghibur sejati yang dapat memadupadankan lagu – lagu Indonesia, Latin & Minang modern ke irama tenang sampai rentak gembira ‘blues, foxtrot, cha – cha, rumba, samba & joget’ demi kepuasan pecandu orkes Gumarang.

Reuni GUMARANG
Memaski tahun 70’an, Gumarang kembali menghimpun kekuatannya yang tertunda sejak ditinggal Anas Yusuf Ke Eropa melanjutkan pendidikan musiknya atas sponsor RRI tahun 1960. Kepergiannya saat itu meninggalkan nama besarnya dengan persembahan lagunya “Sayang Tak Sudah: dan berbagai lagu minang modern baik produksi Lokananta, Mutiara & Irama. Diapun menyelimuti duka rekan –rekannya disaat nama orkes Gumarang melambung populer. Bagaimanapun juga, rekan – rekannya di Gumarang menyakini di kelah hari kedatangan Anas Yusuf ke Republik ini akan kembali kepelukan Gumarang. Terbukti, kedatangan Anas Yusuf bersama istrinya yang bukan ‘urang awak’ melainkan wanita Jerman yang bernama lengkap Ingrid Michel (akrab dipanggil Ciak Utih Inggrid) yang dikenalnya di konservatori musik di Jerman. Akhirnya, mereka benar – benar mencuri perharian dan menjadi perbincangan hangat setelah mengadakan pertunjukan ‘pemanasan’ di Gedung Olah Raga Istora Senayan – Jakarta bersama sederetan insan – insan musik lain semisal ‘Elly Kasim, Tiar Ramon, Wiwiek Abidin, Lili Syarief, Eva Nurdin dan penari Tuti Sundari dkk’. Gebrakan perdana orkes Gumarang ditandai sebagai era “Come back” kelompok ini setelah sekian tahun “istirahat”, setelah ditinggal pergi personilnya Anas Yusuf ke Eropa maupun keberangkatan team Gumarang (Asbonm Juni Amir, dan Edin Arifin) ke World Fair di New York selama satu tahun. Tidak lama kemudian, berita duka cita meyelimuti team Gumarang dengan wafatnya ‘Yanuar Arifin’ pianis orkes kelompok ini ditambah dengan meletus kembali peristiwa ‘Gestapu’ maka Gumarang pun ‘kandas’ pula masa kejayaannya. Tapi satu hal pasti, kehadiran orkes Gumarang muncul ke dunia rekaman untuk meraih kembali kejayaannya yang tertunda seletah ‘sepuluh tahun’ lamanya absen didunia musik. Selanjutnya, kelompok ini juga punya point ‘plus’ terlihat ‘ multi ras’ dengan kehadiran seorang seniwati berasal dari Eropa bernama ‘Ingrid Michel’ berbaur dengan seniman – seniman anak Minang (Indonesia) seperti Anas Yusuf, Elly Kasim, Nurseha, & Syaiful Nawas. Perpaduan kultur ‘dua’ negara tersebut makin menambahkan nilai bagi kelompok ini membuktikan kekuatannya membuat satu terobosan baru di musik untuk “Go Public”. Jadi, jelas sudah gambaran kelebihan reuni ini, selain itu kelompok ini ingin menunjukkan kepenggemar kalau sekiranya orkes Gumarang ‘masih ada’. Terlebih dngan kiprah pertamanya yang ditandai dengan memperkenalkan lagu – lagu Minang untuk merangkul masyarakat Minangkabau yang berada di “Kampuang jo di Nagari Urang artinya Kampung Halaman dan di Negeri Orang”. Yang jelas, album yang berisi 12 lagu produksi ‘Prindu’ ini merupakan karya baru yang lebih terkonsep memberi warna baru seperti Angku Doto (Cipt. Nuskan Syarif/ Syahrul Tarun Yusuf) dinyanyikan Elly Kasim, Bapisah Bukannyo Bacarai (Cipt. Anas Yusuf) dibawakan secara duet Anas Yusuf dan Elly Kasim, Babini Duo (Bj Saleh) dinyanyikan secara Trio oleh Nurseha, Elly Kasim, Syaiful Nawas maupun pada lagu Mamandam Raso (Cipt. Dhira Suhud) dibawakan secara menawan oleh Ingrid Michel. Kemudian ditahun yang sama, kelompok inipun merilis kembali album edisi ‘NANBAGALA’ (Bergelar) menonjolkan lagu – lagu karya terbaiknya seperti ‘Ramuak di Dalam, Apo Kadayo, Bundo, Pemenan Hiduik, Laruik & Rang Danau’. Album ini, di dedikasikan kepada Alm. Januar Arifin lahir.. Gadang (besar)... dan berpulang (meninggal).. dirantau. Kehadiran albun Long Play Gumarang Nanbalaga ciptaan Alm. Januar Arifin, adalah merupakan judul yang ‘serasi’ bertepatan dikeluarkannya keputusan Bapak Harun Zain (dahulu menjabat sebagai Gubernur Pemda Sumbar) memberi Piagam Penghargaan kepada Orkes Gumarang sebagai pelopor memodernisasikan lagu –lagu daerah.

GUMARANG DENGAN SISA PERSONELNYA
Seiring dengan perjalanan waktu, nama Gumarang perlahan – lahan makin memudar sejalan dengan kemajuan teknologi dan bertambahnya usia para personelnya yang sudah tidak muda lagi. Berawal Wafatnya sang komponis dan pianis Gumarang ‘Yanuar Arifin’ dengan penyakit maag akut di tahun 60 – an, kemudian disusul ‘Nurseha’ yang juga seorang wartawati “DETIK” meninggal dirumahnya di bilangan Grogol karena penyakit lever akut. Dan kabar kematian si Ayam Den Lapeh tersebut disiarkan pada malam hari, pukul 21.00 WIB di TVRI ‘80an dalam “Dunia Dalam Berita” dan membuat ‘pukulan’ bagi seluruh Insan Musik, PWI & pecinta orkes Gumarang di seluruh Nusantara. Begitu pula dengan ‘Syaugie Bustami’, meninggal dunia di Serawak – Malaysia, mendapat serangan jantung. Pimpinan Gumarang era ke dua ‘Alidir’ mengalami nasib yang sama, meninggal karaena sakit dirumahnya di Pasar Minggu tahun 1990. Demikian pula ‘Hasmanan (alias Reno)’ semasa hidupnya telah berkarya menjadi vokalis Gumarang, kemudian menjadi wartawan “ANEKA” dan almarhum juga dikenal sebagai penulis skenario dan sutradara film Nasional, diawali film Seribu Langkah (1961), Rio Anakku (1973), Anak – anak tak beribu (1980) dan karya terakhirnya Dia Bukan Bayiku (1988). Berikutnya, berturut – turut ‘Taufik’ pemain alat reso – reso dan ‘Khairuddin’ pencipta lagu dan penyanyi era ‘Anwar Anif’ inipun meninggal dunia. Belum lama kemudian, terdengar kabar ‘Joesfar Yusuf’ menghembuskan nafas setelah merayakan pesta pernikahan salah seorang anaknya dengan seorang pejabat atase Imigrasi Indonesia di Hongkong pada tanggal 17 November 1994. Pada awal tahun 2000, personel yang tersisa “Asbon, Syaiful Nawas & Juni Amir” yang sudah lanjut senja tampak lebih mewakili perasaannya mencoba berkolaborasi dengan musisi muda yang sama sehaluan memberi nafas baru lagu – lagu Minang modern. Lagu ‘Laruik Sanjo” sendiri pertama kali rilis pada tahun 1960, dimana lagu ini masih diperdengarkan sampai hari ini (tahun 2008) masih terdengar sama persis dengan 48 tahun silam... FANTASTIS.

Harus diakui, keberadaan Asbon dan rekan – rekannya di Gumarang memang mempunyai kharisma luar biasa di hati ‘urang – urang awak’ dan masyarakat Indonesia. Ketiga nama Legenda diatas tak henti – hentinya menciptakan generasi – generasi baru, menyebar luaskan lagu – lagu Minang modern & Minang Klasik untuk memperkaya khasanah musik Indonesia. Dan kabar terakhir (Agustus 2008), ‘Juni Amir’ telah menghadap Illahi pada tahun 2000an disusul kemudian pada tahun 2005 salah satu pilar Gumarang, ‘Asbon’ juga tutup usia.. Innalillahi Wa Inna Ilaihi Roji’un. Paling tidak, Gumarang masih punya ‘Syaiful Nawas’ (dahulu wartawan SINAR HARAPAN & SUARA PEMBAHARUAN) yang belum kehilangan gaya membawa penggemarnya ke masa –masa nostalgia memperdengarkan musik Gumarang maupun lagu – lagu Minang Modern & Minang Klasik di dua stasiun Radio “Kayu Manis (Minang Maimbau) & RRI PRO 4 FM 92,8 MHz secara nasional. Sekedar catatan, prestasi yang diukir Orker Guarang selama berkarier, merupakan persembahannya yang tak akan pernah ‘berakhir’ di sanubari pecintanya untuk dikenang SELAMANYAAA. Ibarat kata pepatah ‘Indak Lakang Dek Panehh, Indak Lapuak Dek Hujan artinya Tak Lekang di Panas, Tak Lapuk di Hujan”, adalah memang pantas dsematkan untuk GUMARANG.

Selasa, 02 September 2014

ERMY KULLIT



ERMY KULLIT

“ Salena Jones Made In Indonesia “
Oleh : Jose Choa Linge II,


Dahulu “Rumahku di Night Club”. Demikian Ermy, sapaannya, membuka perbincangan saat saya jumpai di kediamnnya Villa Bukit Nusa Indah – di Ciputat. Diakuinya, sejak menjadi Muallaf beberapa tahun lalu, Ermy lebih banyak berdiam dirumah bila sedang tidak beraktifitas. Tidak lagi Night Club atau Pub sebagai rumah persinggahan. Tapi, sekarang sudah berbalik 90 derajat menjadi “Rumahku Istanaku” katanya kepada saya.

Bagi pemilik nama lengkap Ermy Maryam Nurjannah Kullit, dunia musik bukan dunia yang baru. Jauh sebelum dikenal sebagai penyanyi Jazz kenamaan milik Indonesia, Ermy sudah malang melintang sebagai penyanyi dibeberapa Night Club dan Hotel di Dalam Negeri bahkan sempat menyanyi di Luar Negeri dan di beberapa Negara Asia seperti: Singapura, Malaysia dan Bangkok. Ibu dari seorang puteri cantik Nurul Aini, buah pernikahan keduanya dengan Muhammad Ramli Enci Abd. Rojak. Kelahiran Manado 13 mei 1955 ini sebelum dikenal lewat alunan tembang Kasih dan Pasrah, sudah terlebih dahulu menelurkan album rekaman dalam bentuk Piringan Hitam pada tahun 1974. Dimana, album tersebut Ermy Khusus membawakan lagu-lagu-nya Favorite’s Grup berjudul Cinta, dinyanyikan dengan musik standar (Pop Indonesia).

@Karir dan Night Club
Berbicara tentang perjalanan karier Ermy Kullit, memang terasa panjang. Karena semasa menetap di Manado, Ermy diusia belia sudah mendapat kesempatan menunjukkan kebolehannya di pesta-pesta Ulang Tahun dan Perkawinan Kerabatnya. Waktu bergulir, Ermy baru merasa benar-benar bernyanyi semasa duduk di bangku sekolah kelas 3 SMP dan sering tampil dipanggung-panggung terbuka secara tunggal maupun bersama beberapa Band yang pernah sebagai Vokalis antara lain: Meliska, Nada Yudha, De’ Inst, De’ Logis dan De’ Nost untuk mengadakan Show-show dikota Manado dan sekitarnya. Sejak menginjakkan kaki di kota Jakarta tahun 1973, Ermy diterima bernyanyi di Hotel Marcopolo bersama almarhum Melky Goeslow, sebelum berpindah ke LCC. Ditempat baru inilah, Ermy betul-betul fokus. Menurutnya, menemukan suasana kekeluargaan dan semau sang penyanyi karena tanpa ke ter-ikatan kontrak Manajemen. Di tempat ini konon gudangnya penyanyi dan pemusik top dimasa itu seperti : Deddy Damhudy, Rudy Damhudy, Ivo Nilakresnha, Christine Sukandar, Januar Ishak dll. Ermy banyak menimba ilmu “Dari seringnya melihat, mendengar, bergaul dan tidak malu bertanya kepada yang lebih senior, kesempatan itu akan terbuka lebar-lebar”. Apalagi, hanya dia satu-satunya penyanyi dari kampung yang ‘tentunya sesuatu kebanggaan tersendiri bisa bersanding dengan mereka’. Sebelum bertolak ke Negara Malaysia, Singapura dan Bangkok selama kurung waktu beberapa tahun. Ermy pun sempat juga merasakan menyanyi di Copacobana dan Tropicana, masih membawakan lagu-lagu standar (Pop Indonesia) dan menguasai jenis lagu berbagai irama dari Dance, Waltz, Chacha sampai kepada irama Pop Hot untuk menghangatkan suasana.

@Antara Salena Jones dan Ireng Maulana
Tahun 1981, Ermy kembali ke Indonesia dan menyemarakkan lewat suara khasnya di beberapa hotel berbintang sebelum betul-betul memutuskan pilihannya bernyanyi di “Jaya Pub” milik pasangan Aktris dan Aktor terkenal Rima Melati dan Franz Tumbuan. Dari sinilah awal langkah penyuka memasak masakan khas Manado ‘Woku’ ini, mulai memanjakan telinga pecinta musik Jazz dengan lagu-lagu “Salena Jones” seperti: “Sentimental Journey, Sunmertime in Venice, April in Paris “ yang sudah sangat dikenal oleh pengunjung pub. Menurutnya, siapapun penyanyinya sudah pasti membawakan lagu-lagu dari Salena Jones. Bahkan banyak teman-teman sesama penyanyi dan pengunjung pub bilang ke saya ‘Suara ellu, kayak dia (Salena Jones) atau suara dia (Salena Jones), kayak ellu’ Tepatnya sebagai “Salena Jones Produk Indonesia”. Ditempat ini pula adalah awal pertemuannya dengan pencipta lagu dan pemusik jazz handal “Ireng Maulana”. Kalau disinggung, siapa-siapa saja orang yang berjasa dalam karier bermusik Ermy?. Sudah pasti, Ireng Maulana-lah orang yang pertama disebutnya!. ‘Beliau, tidak hanya sebagai mitra kerja. Bagi saya, beliau adalah Suami dalam bermusik saya. Beliau, orang yang paling tahu dan bekerja keras mencari lagu mana yang cocok dengan Kullit (Panggilan Ireng Maulana Ke Ermy Kullit). Saya hanya duduk manis dan terima bersih Hahaha…’. Setahun kemudian, Ermy merilis Album ‘Jazzy Dixie’. Album ini berisi lagu-lagu pop Indonesia yang sudah dikenal dan top di eranya, seperti misal: Nikmatnya Cinta, Kidung, Widuri, Mimpi, Benci Tapi Rindu dan lain-lain. Lewat album yang diedarkan perusahaan Irama Tara ini, Ireng Maulana tidak hanya mendampinginya sebagai penata musiknya tapi juga penggagas sebagai debut awalnya ke dapur rekaman dengan mengusung lagu-lagu jazz. Lewat album ini, perlahan-lahan penikmat musik jazz menerima kehadiran Ermy Kullit yang “bagaikan setitik air di padang tandus” menanti regenerasi setelah Margie Sigers dan Rien Djamain.

@Kasih dan Pasrah
Pada 1983, Ermy kembali berkolaborasi dengan Ireng maulana menelurkan album ‘Bossas’ lagu-lagu karya cipta sang legendaris ‘Rinto Harahap’. Disusul tahun berikutnya, masih bernaung dibawah perusahaan rekaman Granada Record merilis album berjudul ‘Cintaku Abadi’ ciptaan Buche Tess. Kemudian, meluncurkan album keduanya ‘Walau Dalam Mimpi’ diciptakan David Messakh. Lewat persembahan kedua albumnya ini, Ermy sudah terlihat menjadi tonggak pendewasaan bernyanyi-bermusiknya sebagai kekuatan interprestasinya pada musik jazz sebagai pilihannya dan gerbang kesuksesan-pun terkuak sudah!!. Benar saja…lagu ‘Kasih’ ciptaan Richard Kyoto yang direkam tahun 1986, membawa Ermy melayang dilangit ke tujuh. Segala puja-puji ditujukan kepadanya dan disikapinya dengan kerendahan hatinya bahwa apa yang semua di perolehnya adalah upah dari hasil kerja kerasnya selama ini dan tentunya berkat campur tangan Allah SWT. Lewat album inipun, Ermy di Nobatkan sebagai “penyanyi jazz terbaik” pilihan angket pembaca tabloid Monitor dan Nominasi sebagai album terbaik oleh BASF AWARD. Lagi-lagi, Ermy kembali menjadi buah bibir dengan keberhasilannya pada lagu ‘Pasrah’ ciptaan Ryan Kyoto. Sehingga, mudah ditebak. Hanya dengan kekuatan vokal yang memberi kesan eksotik sebuah lagu akan menuai sukses diolah seorang Ermy Kullit. Tentunya, tanpa mengenyampingkan Ireng Maulana yang setia mendampinginya mencetak hits-hits pada album-album kelanjutannya seperti:, ‘Sesal, Rela, Tergoda, Sendiri dan album “Blue berry Hill” yang direkam secara live di Singapura bergandengan dengan Ireng maulana All Stars. ‘Saya, sangat bersyukur diberi karunia talenta suara oleh Allah SWT. Sehingga sampai hari ini, kapan dan dimanapun saya menyanyi(Show). Ke dua lagu ini (Kasih dan Pasrah) dari pertama beredar 20 tahun lalu masih diminta (diminati) dan menjadi Repertoire (tidak perlu ditulis / request). Itulah hebatnya lagu tersebut!!.

@Pindah ke lain Hati
Disela kesibukannya sebagai “Ketua Bagian Kesejahteraan Sosial di PAPPRI” tidak menyurut- kan langkahnya mempersembahkan yang terbaik dari seorang Ermy Kullit, demi memberi kepuasan kepada penggemarnya. Menurut Ermy ‘Sesekali selingkuh diluar Ireng Maulana, walaupun harus kawin dulu (?) dalam bermusik tentunya’. Bisa dinikmati pada album Kolintang ‘O, Ina Ni Keke’ dengan Rupata Grup atau pada album ‘Siapa Sangka’ dengan Kwartet pakar musik seperti Fariz RM, Billy JB, Chandra Darusman dan Purwatjaraka. Bahkan, album kolaborasinya dengan Indra Lesmana ‘Saat Yang Terindah’ menjadikan sebagai “Album Terbaik” di ajang bergengsi AMI SHARP AWARD tahun 2000. Ermy, dapat juga dijumpai ke-elokan kolaborasinya dengan beberapa penyanyi tangguh, pencipta dan pemusik jempolan Tanah Air seperti Benny Likumahua, Didiek SSS, Johan Untung, Levy, Tito Soemarsono, Michael Idol pada lagu ‘Untukmu’ dan pada album ‘Salahkah’ bersama Primavera – The Beginning. Ermy Kullit membuat persembahan yang spektakuler ber Latin-Ria. Bisik-bisik sesama pemusik, Ermy dalam waktu dekat ini akan meluncurkan album solo dengan di iringi sang pianis Buby Chen. ‘Masih dalam tarap pembicaraan dan pengumpulan lagu-lagu’, ungkapnya di suatu hari. Sedianya dipersembahkan sebagai karya terbaik untuk Negeri ini….Amin!!.

“ Mapalus” dan “Si Tou Timou Tumou Tou” (“Bekerja Sama” dan “Manusia Hidup Untuk Menghidupkan Manusia Lainnya”) Tetap bergelora di hati kita semua!! (By : Ermy Kullit)

IWAN ABDURACHMAN









IWAN ABDURACHMAN
Menjadikan Alam sebagai Inspirasi,Oleh: Jose Choa Linge/ Niantoro Sutrisno,
Di kalangan komunitas pencinta alam, nama Iwan Abdulrachman sangat dikenal luas di seantero Bumi Persada ini.selain itu ia juga seorang Penyanyi dan pencipta lagu , kehidupannya tentang lingkungan alam bebas Hutan, Air, Daun, Bunga, Gunung & Danau sangat mempengaruhi dalam menghasilkan karya gemilang. Dia tidak berbasa-basi, setiap lagunya banyak yang bisa disampaikan dan diungkapkan lewat tokoh-tokoh di dalamnya sehingga orang yang mendengarkannya seakan mengikuti perjalanan bersamanya melalui cerita dari lagu-lagunya. Dia menulis tentang apa yang dilihat dan dirasakannya, tentang Dirinya, tentang Alam, tentang Kota, tentang Dusun, tentang Cinta & tentang Sang Pencipta..

Sosok dari Abah IWAN,
Lelaki kokoh dan berkumis tebal ini adalah sosok teladan bagi teman-teman pergaulan sesama musisi, dia adalah tokoh panutan dan menyenangkan dilingkungan yang bukan musisi sekalipun. Dia terlahir sebagai Ridwan Armansyah Abdulrachman di Sumedang, Jabar, 3 September 1947, bakat seninya mengalir dari kedua orang tuanya Abdulrachman Natadiria & Oyoh Partakusumah. Dia adalah pribadi yang peduli pada alam dan Bangsa ini, baginya ''Setiap warga tidak bisa tidak peduli karena takdir kita menjadi bagian dari bangsa ini!'' ungkapnya.

Begitu pedulinya tentang alam, dibuktikannya dengan serangkaian lagu-lagu yang digubahnya di alam bebas dan di tengah hutan yang tenang atau di gunung-gunung yang sepi. Lagu yang pertama kali dibuatnya terangkum dalam album LAGU-LAGU KARYA - IWAN A.RACHMAN ini adalah: Balada Seorang Kelana ditulis di gunung Burangrang (1964), Bulan Merah ditulis di hutan Banten Kidul(1968), Mawar Yang Terbiru, ditulis di gunung Tangkuban Perahu (1970) & lagu, Seribu Mil Lebih Sedepa ditulis diatas perahu disebuah danau ditengah-tengah hutan yang sangat sunyi di pedalaman Kalimantan Tengah(1979).

Diapun dikenal sebagai pencari bakat bagi penyanyi pemula, dibuktikan dengan kehadiran penyanyi bersuara bening dan indah seperti Conny Francis yaitu Inne Suherman dan Aom Kusman (MC & Pelawak D'Kabayan) melagukan sesempurna nuansa keinginan sang penggubah-nya 'Iwan Abdulrachman' tentunya.

Sosok AKTIVIS,
Di luar berkeseniannya, dia melibatkan diri di Wanadri yang berarti 'Gunung di tengah Hutan'. Kelompok Perhimpunan Penempuh Rimba dan Pendaki Gunung ini adalah sebuah organisasi yang orientasinya melatih para pemuda pemudi Indonesia untuk cinta alam dan tanah air melalui kegiatan pendidikan dialam terbuka dan juga mengemban 'misi' kemanusiaan , seperti: SAR, Tsunami, Bencana Alam, Gunung meletus, Banjir bandang, Tanah Longsor dll. Organisasi ini sendiri sudah berdiri sejak 44 tahun lalu, tepatnya di deklarasikan di Kota Bandung, 16 Mei 1964 dengan jumlah anggotanya yang aktif terdaftar sekitar 1.000 orang dari berbagai lapisan masyarakat Indonesia yang menyebar di seluruh provinsi dan keanggotaannya berlaku sampai mati (tidak ada istilah alumni).

Keterlibatannya sebagai salah seorang anggota di Wanadri, sebenarnya baru terlibat pada bulan Desember 1964. Namun kepeduliannya terhadap sesama dan sosoknya yang mengayomi, sehingga dia menjadi contoh teladan bagi anggota lainnya di Wanadri hingga sekarang ini (2008). Kehadirannya di GPL (Gerakan Pencipta Lagu) yang berdiri tahun 1971, bersama rekan-rekannya sesama mahasiswa di UNPAD (Universitas Pajajaran) Bandung dikenal sebagai pencipta sejumlah lagu-lagu Hymne, yaitu: Hymne Siliwangi, Hymne Universitas IBA, Hymne Universitas Mulawarman (Samarinda), Hymne UNPAD & Hymne Wanadri dll, Dia mempunyai ciri khas dengan sebuah gitar dipundak dan senantiasa membawakan lagu-lagu patriotik di 'open stage', itulah yang menyebabkan banyak orang tak akan bisa melupakannya.

Sosok di MUSIK & FILM,
Kehadirannya di Group Bimbo (1971-1978), dia tidak hanya di kenal sebagai pencipta dari lagu-lagu cantik seperti Melati dari Jaya Giri, Flamboyant, , Bulan Merah, Tajam Tak Bertepi & Angin November, tapi dia membuktikan totalitasnya sebagai pemain Bass dan Block Flute di group ini. Mudah di tebak, kehadiran Album Bimbo & Emillia Contessa ini sangat laris manis dimasanya dan tetap abadi menjadi Legenda.

Lagu-lagunya masih terus terdengar selama 30-40 tahun terakhir lewat penyanyi lain semisal : Faisal Amir, Broery Pesolima, Johan Untung, January Christy, Jend. Wiranto, Alm Gito Rollies & Indonesian Idol dll, lagu-lagu itu tetap terdengar sama dahsyatnya seperti saat pertama mendengarnya di suarakan penyanyi aslinya. Yang paling menakjubkan adalah bahwa kenyataan kalau dia juga piawai dalam menggarap illustrasi musik film 'Tanah Gersang (1971)' bersama Imam Junaedi yang dimainkan Emillia Contessa, S Tidjab, Dadi Djaya, Mien Brodjo & Marlia Hardi, dia ditunjuk langsung oleh Mochtar Lubis sang penulis Novel Tanah Gersang yang jatuh cinta dengan lagu Flamboyant & Bulan Merah untuk menjadi Theme Song-nya.

Dia-pun memiliki kekuatan gambaran dan jiwa dalam menggunakan lirik, Kolaborasinya bersama Aryono Huboyo yang melahirkan melody dan komposisi sehingga membawa penyanyinya Vina Panduwinata berhasil mendapat julukan si Burung Camar untuk judul lagu yang sama. Keberhasilan Lagu Burung Camar pada Festival Lagu Populer Tingkat Nasional 1985 & World Popular Song Festival Tokyo 1985, menjadikan nama Vina Panduwinata melambung dan diganjar sebagai berpenampilan terbaik.& memenangkan Kawakami Prize ditahun yang sama..

Sosok di KALIKAUSAR,
Dalam banyak hal, Iwan Abdulrachman adalah perwujudan dari musik, alam dan perdamaian,. Bermula dari empat sekawan inilah, 'Indra Rivai, Iwan Abdulrachman , Wandi K & Rudy Kadarullah' selepasnya dari group Bimbo dan secara kebetulan seorang produser menawarkan rekaman di Yukawi- Depok. Atas prakarsa Wandi K, lahirlah Album perdana Sejuta Kabut (1979) dari group musik 'Kalikausar' yang terdiri dari: Indra Rivai-(Keyboard,Vokal), Wandi Kuswandi- (Gitar,Bass,Perkusi & Vokal), Iwan A. Rachman- (Vokal, Komposer),Rudy Kadarullah(Drum),serta Nicke Rasyidi- (Lead Vokal) ,Nama Kalikausar sendiri, diambil dari bahasa sangsekerta yang artinya 'Sungai yang mengalir dari Surga, yang memberi kesejukan'.

Mereka berempat sesama anak Bandung bergabung untuk membuat hasil karya hanya untuk direkam saja, mereka mencoba tawarkan warna musik etnik dan balada yang sebelumnya sudah diusung bersama Bimbo. Keberadaan album-albumnya seperti: Mentari (1980) & Surat (1981), merupakan album Kalikausar yang sama sekali tidak terjamah oleh penikmat musik indonesia dimasanya. Sesuatu yang patut diacungi jempol, adalah keberanian mereka bekerja sama dengan studio musik lokal yang minim popularitas. Dan konon, kedahsyatan nyanyian Kalikausar yang dibuat bersama WHISNU Record - Bandung hanya di kenal oleh para teman-teman maupun kerabat dan lingkungan personelnya saja.

Sosok di Album SOLO,
Dia sangat menyukai tantangan membuat sesuatu dalam musik, hal itu membuatnya merasa nyaman dan terus dilakukannya sampai sekarang. Terlihat jelas kejeniusannya dalam menyampaikan lirik yang terkesan sederhana tetapi penuh makna, seperti gambaran pada lagu ' Melati Putih' : Ini Kisah Tentang Sekuntum Bunga/ Terputih dari Yang Putih/ Yang Daunnya Hijau Di Musim Kering/ Kemilau Di Sinar Surya/ Dan Bila Musim Bunga Tiba/ Melati Bersemi/ Putih Dan Sejuk Bening Berseri/ Bergetar Di Sudut Hatiku 'Sebenarnya Lirik dari lagu ini bukanlah lagu yang secara implisit menceritakan tentang bunga melati putih, tetapi mempunyai makna lebih dari itu, yaitu ungkapan rasa cinta terhadap seorang wanita mulia. Diapun, memiliki kekuatan deskriptif yang memukau dalam menggunakan lirik yang ber makna kehidupan dan di rangkumnya pada lagu 'Jangan Bunuh Aku' yg melodi & accordnya dibuat oleh Indra Rivai sedang liriknya oleh Abah Iwan(biasa ia dipanggil oleh para sahabatnya).

Kepeduliannya tentang burung-burung yang terbang bebas dan berkicau di halaman-halaman rumah, tapi ditembaki oleh orang-orang yang tidak mengerti kehidupan dan tidak punya kesadaran lingkungan atau tidak bertanggung jawab. Semua itu tercakup dalam karyanya yang relatif pendek, tetapi proses pembuatannya memakan waktu sangat panjang, mulai dari penciptaan melodi sampai dengan tertulisnya lirik mencapai 4 tahun. 'lebih kurang tema dan nuansa batinnya bersamaan dengan melodi dan harmoni accord-nya tahun 1967, liriknya baru utuh tahun 1971'. Lagu-lagu yang diinspirasikan dari alam terdapat kejujuran yang menawan didalamnya sehingga memiliki kekuatan yang sangat besar, seperti membawa pesan yang begitu bersinar tentang perdamaian untuk Manusia, Alam, Cinta & Dunia lewat musiknya untuk berbuat baik.